All I need to know is
Where to stop
Take my hand and show me forever
So never will I ever let you go
—Memories, Shawn Mendes—
****
Hari ini hari sabtu, akhir pekan yang sempurna untuk menghabiskan waktu dengan keluarga. Dulu sewaktu Alana masih kelas dua sekolah dasar, setiap hari sabtu ia bersama kedua orang tuanya akan pergi berjalan-jalan. Lokasinya tidak jauh-jauh dari Jakarta, paling hanya akan ke ancol atau ke taman membeli es krim, terkadang kalau sempat akan piknik juga.
Memori itu tiba-tiba saja terputar saat Alana sedang menyentuh bingkai fotonya dan kedua orang tuanya saat kelas enam sekolah dasar. Kelurganya terasa lengkap saat itu, tidak ada kekurangan sesuatu apapun. Alana merasa cukup atas segala perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh Mama dan Papa. Sesibuk apapun Papa saat itu, pasti dia akan menyempatkan waktu akhir pekan bersama keluarganya.
Dunia Alana seperti dijungkir balikkan dalam sekejap. Kebahagiaannya direnggut, keluarga yang sangat amat ia cintai telah hilang, tidak ada lagi rasa kehangatan atau bertukar cakap di setiap mata bertemu hanya karena satu orang itu, Tiara. Wanita itu tiba-tiba datang dan mengambil semuanya dari genggaman Alana. Tanpa menyisakan sedikit pun.
Alana tak pernah menyukainya, tak akan pernah menyukai Tiara. Meskipun sikapnya baik kepada Alana, Alana tetap tak menyukainya. Wanita itu jahat, mengambil semua tanpa memikirkan orang lain. Mengambil kebahagiaan orang lain. Lantas, apa yang Alana harus sukai? Tidak ada.
Sebenarnya Alana membencinya, ia membenci rasa benci itu hadir untuk Tiara. Namun, sekuat apapun keinginan Alana untuk menyingkirkan rasa benci itu tidak pernah berhasil. Rasa itu tetap ada.
Alana menghembuskan napasnya kasar, dipandanginya kagi bingkai foto itu, lantas ia masukkan ke dalam koper bersama tumpukan baju yang lain. Alana hanya membawa barang dan baju secukupnya saja. Kata ayahnya nanti akan ada orang suruhan ayahnya yang akan mengantarkan sisa-sisa barang Alana ke Australia.
Alana menyerah? Ia pindah?
Percuma, sekalipun ia bersimpuh, memohon, mengemis hingga ia menangis darah takkan pernah ada gunanya. Ayahnya begitu keras kepala, jadi lebih baik ia menurut. Ia sudah menyerah melawan arus. Sekarang Alana akan berjalan menuruti arus.
Alana sedikit berjongkok untuk mengambil baju yang agak jauh dari jangkauannya, akan tetapi tatapannya jatuh pada lehernya. Kalung pemberian ibunya tidak ada. Alana panik, lalu mencari ke dalam lemarinya dan di dalam laci meja belajarnya, tapi nihil hasilnya.
"Alana? Kamu nyari ini?" Alana menoleh mendapati ibu tirinya itu sedang memegang kalung yang ia cari. "Tadi ada di kamar mandi kayanya waktu mandi kamu tadi lupa ngambil lagi."
Alana berdiri dan menatap Tiara datar lalu ia mengambil kalung itu tangan ibunya. "Makasih,' ucapnya pelan malah seperti bisikan.
Tiara tersenyum, meskipun kecil tapi suara itu masih ia dengar. Tiara tidak langsung keluar, ia mengamati Alana yang masih sibuk mengemasi barang-barangnya.
"Apa kamu benar-benar mau pindah ke sana? Mami nanti bisa bantu ngomong ke Papa kalau misalnya kamu ngga mau. Jangan dijalani secara paksa Alana, nanti malah jadi beban."
Alana mendengus lalu menyeringai menatap Tiara. "Beban? Sejak anda masuk ke kehidupan saya itu sudah jadi beban. Tidak sadar? Jadi tidak usah sok peduli sama saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo Alana
Teen Fiction[COMPLETED] Bagi Alana hidupnya akan damai jika tak berurusan dengan Aldrio atau Juna. Menyenangkan menjadi wakil ketua osis. Jika ketuanya bukan Aldrio, si manusia es yang suka bertindak semaunya. Menyenangkan menjalani hidup SMA dengan sejuta nove...