"Let's play."
Dan saat itu permainan yang sesungguhnya benar-benar dimulai.
Permainan takdir.
Lalu hanya akan ada satu dari dua hal yang terjadi.
Mereka yang memainkan takdir atau..
Takdir yang akan mempermainkan mereka?****
Lelaki itu merebahkan dirinya di atas kasur. Menutup matanya dengan ritme yang sangat pelan. Jendela kamarnya ia biarkan buka, sehingga saat sang angin berhembus dan menyapa kulitnya, ia bisa merasakan dinginnya sang angin.
Ia menghembuskan napasnya kasar. Meremas rambutnya frustasi.
"SIALAN!" umpatnya.
Juna belum pernah sekalut ini setelah sekian lama. Lagi-lagi ia harus terjebak dalam zona yang sama dengan Aldrio.
Menyukai orang yang sama.
Juna sebenarnya belum benar-benar tahu apa perasaan Aldrio yang sesungguhnya pada Alana. Hanya saja tatapan Aldrio beberapa jam yang lalu sangat membuat Juna merasa takut. Takut jika Aldrio akan memainkan perasaan Alana. Karena Juna tahu betul, siapa pemilik nama di hati Aldrio. Tatapan mata Aldrio belum berubah. Sama seperti tiga tahun yang lalu. Masih menunggu dengan luka yang ia biarkan terbuka.
"Jun, gue balik deh," Tere berseru saat membuka pintu kamar Juna.
"Hmm," jawab Juna singkat.
"Lo ada apa?"
Tere mengurungkan niatnya untuk pulang. Kini cewek itu berjalan mendekati Juna dan duduk di samping sahabatnya itu. Tere tahu betul, jika Juna sudah bersikap sedikit pendiam dan menutup matanya seperti ini berarti ia sedang memiliki masalah.
"Gue ngga—"
"Cerita sama gue."
****
"Gue balik dulu ya," pamit Aldrio setelah mengantarkan Alana kembali ke rumahnya.
"Hmm."
Aldrio berbalik tapi sebuah suara menghentikan kakinya.
"Tunggu Aldrio!" Alana mendekati Aldrio "Makasih buat traktirannya."
Aldrio tersenyum mendengar penuturan Alana. Gadis itu tampak membeku dan senyumnya perlahan pudar. Belum pernah ia melihat Aldrio tersenyun semanis ini. Yang ada di dalam ingatan Alana hanyalah Aldrio yang pemarah.
"Urwel, next time mungkin gue bakalam ngajak lo jalan ah engga," Aldrio menggelengkan kepalanya "Kencan mungkin lebih tepat. Ah iya, kayanya gue mulai tertarik sama lo deh Lan."
"Hah?" Alana membulatkan matanya.
"Lo terlalu menarik di mata gue. Gimana dong? Jangan salahin gue ya kalau entar gue jadi..."
Alana menaikkan alisnya tampak menunggu ucapan Aldrio yang menggantung.
"Entar aja deh. Buruan lo masuk. Gue mau balik, udah malem," lanjut Aldrio.
Alana mendesah kecewa tapi tak urung ia melangkahkan kakinya menuju pintu rumahnya.
"Bonyok elo di mana Lan?" Aldrio baru menyadari keadaan rumah Alana masih sama saat ia tinggalkan beberapa jam lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo Alana
Roman pour Adolescents[COMPLETED] Bagi Alana hidupnya akan damai jika tak berurusan dengan Aldrio atau Juna. Menyenangkan menjadi wakil ketua osis. Jika ketuanya bukan Aldrio, si manusia es yang suka bertindak semaunya. Menyenangkan menjalani hidup SMA dengan sejuta nove...