"Re, lo ke School Center duluan aja ya. Gue mau ke toilet bentar," kata Elsa saat dia dan Rea sedang berjalan di koridor menuju School Center.
"Ya udah gih, nggak apa-apa. Buruan ya!" Rea kemudian berjalan memasuki School Center, tempat di mana berbagai alat tulis terjual.
"Bang Anjar, stabillo-nya satu dong warna merah," ujar Rea kepada cowok yang bertugas di school center. Laki-laki tersebut memang kerap kali dipanggil 'Bang' oleh anak-anak satu sekolah.
"Warna merah apa warna pink? Merah mah kagak ada," kata Bang Anjar yang pandangannya tak lepas dari kertas-kertas yang sedang di-copy.
"Masa sih? Ya udah deh yang warna hijau." Rea melihat-lihat barang yang ada di etalase sementara Bang Anjar mengambilkan stabillo yang diminta Rea lalu menyerahkannya sembari tersenyum.
"Berapa, Bang?"
"Lima ribu saja."
"Nggak kurang?" tawarnya.
"Nggak bisa dong, Re, emang ini di pasar apa tawar menawar?" gerutunya sambil terkekeh.
Rea jadi ikutan terkekeh geli sambil menyerahkan uang pas.
"Oh iya Bang, sama sekalian disuruh ambil modul bahasa Indonesia dari Bu Arumi. Sudah dijilid, kan?"
"Oh yang soal simulasi Ujian Nasional? Udah jadi kok tenang aja," ucap Bang Anjar lalu mengambilkan setumpuk kertas yang dijilid rapi menjadi buku yang bersampul merah muda di atas etalase.
"Perintah sang kapten mah ngga boleh telat," kekeh Bang Anjar membuat Rea manggut-manggut setuju ketika Bu Arumi dijuluki Sang Kapten.
"Bang Anjar, ini gue fotokopikan 34 kali bang," kata suara seorang cowok yang tiba-tiba mengarah ke samping Rea. Rea kontan menoleh dan mendapati Billy berdiri di sebelahnya.
"Billy? Hei, lo ngopi apa?" tanya Rea membuat Billy menoleh tak sadar Rea di sampingnya.
"Eh Rea, itu rangkuman rumus fisika dari Pak Jamil. Lo sendiri?" Billy bertanya balik.
"Gue ambil ini." Rea menunjuk modul di atas etalase. Billy membaca judul yang tertera di modul.
"Oh simulasi soal bahasa Indonesia. Kelas gue udah dibagi kemaren," kata Billy tanpa ditanya.
Rea manggut-manggut. Rea memikirkan topik apa lagi yang akan dikatakannya. Tiba-tiba ia teringat.
"Oh ya, Bil, kemaren rapat kalau boleh tahu bahas apa?" tanya Rea penasaran. Meskipun Rea menaruh hati pada Billy, namun ia sudah terbiasa ngobrol dengannya jadi Rea tak merasa canggung.
"Oh itu soal ulang tahun sekolah kita yang sebentar lagi."
"Oh iya gue lupa sebentar lagi sekolah kita ultah yang ke ... sepuluh ya kalo nggak salah?" tanya Rea memastikan.
"Nggak salah kok."
"Temanya gimana, Bil?"
"Paling nggak jauh beda dari tahun sebelumnya. Tapi nanti kalau jadi, kita bakal ngundang anak-anak panti."
"Waah pasti seru banyak anak-anak." Rea bertepuk tangan lirih. Rea memang paling suka dengan anak kecil.
"Billy... kata Arsy lo di sini ternyata bener." Suara Fraya tiba-tiba menghilangkan keceriaan Rea. Fraya berjalan mendekati Billy.
"Eh Fraya. Ada apa nyariin gue?" tanya Billy.
"Gue cuma mau bilang makasih soal puisi lo itu, makasih ya udah bikinin puisi romantis. So sweet banget tahu."
"Ehm puisi? Puisi apa?" Billy mengernyitkan dahi bingung.
"Puisi yang ini lho, yang kemaren ditaruh di loker gue." Fraya mengambil kertas yang terlipat rapih di saku kemejanya, lalu diserahkannya kertas puisi itu dihadapan Billy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love To Remember [Completed] ✔
Teen FictionRea dijodohkan oleh orangtuanya dengan Gilvan, pacar dari Elsa, sahabatnya sendiri. Tentu saja mereka menolak keputusan sepihak tersebut, namun akhirnya Rea dan Gilvan memutuskan menjalani hubungan pura pura meski hanya di depan orangtua mereka. Sem...