2

4.7K 652 74
                                    

Ponsel Jaemi berdering sejak pagi. Dan sejak itu juga dia mengabaikannya. Tanpa perlu melihat, ia tahu itu Ibu. Jaemi hanya terus membereskan rumahnya di hari sabtu tanpa kelas dengan tekun. Pendingin ruangan yang tagihannya mahal bahkan sempat dinyalakan karena peluh selalu turun membasahi tubuh dan kaus oblongnya.

Setelah bolak balik mencuci pakaian di laundry lantai dua dan mengeringkannya, ia akhirnya bisa menghempaskan pantatnya ke sofa ruang tengah dengan tenang. Menikmati hembusan angin sore dari jendela ruang tengah setelah pendingin ruangan dimatikan sejak tadi.

Jaemi baru merasakan peluhnya mengering saat ponsel di sakunya berdering lagi. Kali ini, jemarinya menekan tombol angkat.

"Ibu," sahutnya. Nampaknya sang Ibu terkesiap sebentar mengetahui Jaemi akhirnya menjawab telepon.

"Go Jaemi. Mengapa baru angkat? Darimana saja?"

Jaemi menghela nafas malas. "Beres-beres," jawabnya. "Ada hal yang ingin dibicarakan?"

Ibunya pasti masih kelabakan menghadapi sikap Jaemi yang dingin. Bagus. Tapi sesegera mungkin, Ibu menguasai diri. Bicara dengan intonasi palsu yang paling Jaemi benci.

"Pulanglah ke rumah malam ini, Yoonseok akan masuk TK dan Ibu sudah memasak--"

"Itu bukan rumahku," suara Jaemi rendah, namun ketajamannya cukup untuk sampai ke telinga Ibunya. "Itu rumahmu. Sampaikan saja salamku. Nikmati pestamu bersama keluarga bahagiamu. Sampai jumpa."

Sebelum mendengar apapun lagi, Jaemi menekan tombol merah di layarnya. Menghela nafas, mengusir rasa bersalah yang mulai menyelimuti nuraninya. Ia menyandarkan kepalanya yang mulai terasa pening di sandaran sofa.

Sudah setahun lebih lamanya ia pindah ke apartemen ini. Tentu saja Ibu yang memberinya uang, membiayainya. Wanita itu tetap Ibunya. Hanya saja, rumah yang sebelumnya ia tempati bukanlah apartemen sederhana mereka di pinggir kota dulu. Adalah rumah pria itu, Choi YoonByul, pengusaha supplier yang menikah dengan Ibunya. Yoonseok, anak berumur hampir 4 tahun itu adalah hasil cinta mereka. Lima tahun ia tinggal dan ia baru menyadari bahwa jelas sekali, rumah yang Byul bangun bukan untuknya. Membuat Jaemi muak.

Ponsel yang masih di tangan Jaemi bergetar, memecah lamunannya. Ia melirik notifikasi pada ponsel. Seseorang telah mengirim uang pada rekeningnya dalam jumlah yang lumayan. Matanya terasa panas dan buram. Siapa lagi kalau bukan Ibu?

Pesan lain yang masuk, tidak sengaja terbuka. Semakin mencungkil bagian kecil dari dada Jaemi.

"Kau tidak perlu datang jika tidak ingin. Jangan terus-terusan memusingkan kuliahmu. Bersenang-senanglah menikmati malam minggumu."

Jaemi tersenyum miring. Sejak awal, ia tahu tawaran Ibu hanya basa-basi. Jaemi tahu, biarpun wanita itu menginginkan keberadaannya, suami kesayangannya itu tidak menginginkan hal yang sama. Dulu saat ia berpikir untuk pergi, mengira suatu hari nanti dirinya akan mampu hidup sendiri tanpa perlu menoleh kebelakang mengais kasih sayang lagi, dirinya cukup naif. Biar bagaimanapun memori 15 tahun hidupnya bersama Ibu sebelum pria itu hadir adalah hal yang tidak akan pernah bisa dilupakan. Melupakan dan melepaskan adalah dua hal yang berbeda, bukan? Dan sekarang hidupnya semakin sulit sejak kecemasan melanda tiap malam. Tidurnya tak nyenyak lagi.

Mengusap airmata yang dengan lancang merebak, Jaemi menghela nafas pelan. Matanya mendelik ke arah apartemen seberang, perasaannya berubah miris. Bibirnya terbuka dan bergumam serak,
"Bersenang-senang apanya?"

***

"Terimakasih," katanya sambil membawa kantung belanjanya dari kasir minimarket. Kendati ia bukan tipikal muda-mudi yang suka menghabiskan uang di luar, ia memutuskan menggunakan uang transferan Ibu untuk keperluan perutnya sendiri. Bahkan uangnya hanya terpakai kurang dari seperempat jumlahnya, menyisakan nominal yang masih sangat besar di rekeningnya.

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang