12

2.2K 439 60
                                    

Hoseok menatap dengki setiap ada kesempatan lantaran Jaemi dengan sengaja duduk di tempat yang jauh sekali dari kasir. Bahkan dia tidak mempersilahkan pantat Hoseok yang hampir duduk untuk nimbrung dengan mereka. Cewek itu hanya memperkenalkan mereka berdua lalu mendorong Hoseok pelan, seolah menyuruhnya pergi dari lingkaran mereka. Menyebalkan. Aku kan bosnya! Bos!

Sedang mereka berdua di sana tertawa-tawa, Hoseok makin sebal. Sebelum ia memikirkan rencana jahat mengacaukan percakapan mereka berdua, ia memutuskan untuk menghempaskan tubuh di kursi kasir, berusaha menguping disertai bibir yang maju.

"Jadi kau juga dari Busan? Ah, pantas terkadang logatmu familiar." Jimin terkekeh, tangannya menangkup segelas sterofoam cappuccino.

"Benarkah? Kukira sudah hilang sama sekali," Jaemi tersipu.

"Itu sulit hilang. Umur berapa kau pindah?"

Jaemi mengatupkan bibir, memiringkan kepalanya. Saat itu..

"Dua belas tahun," suara lain terdengar dari seberang ruangan. Itu Hoseok, yang menyahut dari balik meja kasir. Terdengar tak senang alih-alih menjawab pertanyaan Jimin.

Jimin menoleh, tersenyum tipis dan mengangguk. "Lama juga." Pria itu menyeruput kopinya, masih tak mengalihkan tatapan dari Jaemi yang kini tak tahu harus bicara apa lagi. Hoseok penghancur suasana.

"Bosmu itu teman baikmu ya? Berapa lama kalian saling mengenal?" Jimin mengecilkan suaranya.

Jaemi menggaruk belakang kepala, malu. "Sejak aku pindah ke pinggir kota Seoul. Maaf ya, dia agak.. hiper."

Jimin tertawa. "Tidak, tidak masalah. Bagus kalau kau memiliki kawan sedekat itu. Aku iri."

Jaemi menanggapinya dengan diam. Ya, memiliki Hoseok adalah keajaiban. Tapi dia iri untuk apa?

Keheningan mengisi atmosfer beberapa detik, sampai pintu kafe jauh di belakang Jimin terbuka. Dua orang memasuki kafe, disambut ceria oleh Hoseok dari balik meja kasir.

Jimin bangkit berdiri, menyampirkan tas punggungnya. "Kurasa aku harus pergi sekarang."

Jaemi menahan lengannya. "Kenapa? Kau bisa duduk-duduk dulu disini. Kau kan, pelanggan."

"Pelanggan apanya kalau kau tidak memperbolehkanku membayar minumanku sendiri?" Jimin menunjukkan cengiran, menggelengkan kepalanya. "Lagipula aku masih ada urusan. Jadi terimakasih banyak, Jaemi."

Jaemi mengangguk, mengantar Jimin keluar kafe disertai seruan Hoseok yang menjengkelkan dari tempat kasir. "Hati-hati ya, 'pelanggan'nya Jaemi!"

Jimin tersenyum sopan, lantas menoleh ke arah Jaemi yang melotot sebal pada Hoseok. Mereka telah berada dibalik pintu kaca Just Hobi.

"Lain kali boleh aku berkunjung lagi?"

Jaemi mengangguk. Pria di depannya itu tersenyum lebar, matanya kembali tenggelam. "Baiklah, aku pergi. Sampai bertemu lagi?"

"Sampai bertemu lagi."

Jaemi menatap punggung Jimin yang menjauh. Bahkan dalam hal berbincang, Jimin juga bersinar. Gadis itu kembali masuk setelah Jimin menghilang dari pandangan, bersamaan dengan kedua pelanggan barusan keluar dari kafe.

"Jadi?"

Suara Hoseok menyambutnya lagi. Pria itu, mengherankan. Senang sekali menggunakan kata 'jadi?' untuk memulai percakapan. Bikin bingung saja.

"Apa?"

"Jadi kau pacar-pacaran sekarang?"

Jaemi memutar matanya jengkel. Kenapa, sih, pria dan wanita tidak bisa berkawan tanpa dikira berhubungan spesial?

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang