17

2.1K 396 50
                                    

Jaemi tidak lagi peduli kalau menghentakkan kaki di lantai adalah kebiasaan anak kecil. Pokoknya gadis itu sekarang berhak melakukannya. Ia kesal setengah mati. Pening di kepalanya setelah ditiban Yoonseok pagi-pagi untuk bangun, makin membuncah ketika Ibu menelepon, bilang bahwa jadwal pulangnya itu dua hari lagi sebab renovasi resort di sana masih terhambat cuaca.

Sebenarnya, Jaemi mendengar kasak-kusuk tertahan di seberang telepon. Sesuatu seperti "di rumah kita saja", "kan ada bibi di rumah" dan "aku bisa panggilkan babysitter" dengan suara yang menyebalkan Choi Yoonbyul. Nampaknya pria itu tidak begitu menyukai ide menitipkan Yoonseok pada Jaemi dengan membubuhkan alasan; pasti Jaemi sibuk.

Didapatinya langit pagi hari di luar jendela semakin mendung. Yoonseok hanya menatap kemalangan gadis itu dari sofa, mengenakan pakaiannya kemarin yang untungnya semalam sempat Jaemi cuci menggunakan tangan--sembari mandi--dan dijemur dengan aman di sela-sela jendela ruang tamu. Yoonseok agaknya tahu, kalau Kakaknya akan sibuk sekali hari ini.

"Jam berapa sekolah dimulai?"

Yoonseok menegakkan tubuh, menghentikan kegiatan makan roti selai stroberi, kacang, dan cokelat buatan Jaemi yang ternyata enak sekali--catat, ia harus merengek pada Ibu besok-besok untuk dibuatkan sarapan seperti ini. "Jam delapan. Tapi kalau diantar, setengah sembilan baru sampai."

"Diantar sopir? Bersama Ayah dan Ibu?" Jaemi berjalan ke pantry, menyiapkan sarapan alakadarnya untuk diri sendiri.

"Iya. Mereka diantar lebih dulu, aku telat, deh. Jadi tidak pernah ikut baris-berbaris."

Gadis itu melirik wajah Yoonseok. Telinganya dapat menangkap secuil nada kesal dari adik laki-laki beda ayahnya itu. Hatinya serasa di iris. Bagaimana sih, mereka? Bocah kecil itu, ah, bahkan jika Jaemi bisa, ia mau memberikan segalanya pada Yoonseok. Jaemi sudah menduga, kedua orang tua itu masih lalai dalam berkeluarga, terutama Ibu yang tidak pernah belajar sejak dirinya.

"Sarapanmu sudah habis?" Jaemi mengalihkan pembicaraan setelah menimbang apakah ia tega membuatnya telat juga, sebab setelah ini mereka berencana pergi ke rumah untuk mengambil pakaian Yoonseok.

Mengangguk, Yoonseok meletakkan piringnya di meja pantry. Anak itu mengambil sebuah kursi makan dan menonton Jaemi di dapur.

"Noona."

"Hm?"

"Pakaian Paman Jungkook jangan lupa cuci, ya. Dia itu cerewet sekali. Katanya, pastikan Noona mengembalikannya."

Jaemi lantas menghentikan kegiatannya, rasa panas menjalar di pipi tatkala mengingat barang milik Jungkook di keranjang kotornya.

"Terutama celana dalamnya. Itu masih bagus, karetnya belum melar, makanya aku masih bisa mengenakannya."

***

Setelah mengantar Yoonseok tepat waktu, memastikan anak itu ikut baris-berbaris, Jaemi berlari menuju halte terdekat saat guyuran hujan turun. Ia tidak sempat mengeluarkan payung dan hampir berkata kasar seperti kebiasaannya jika tidak menyadari ia tidak sendiri di sana. Ada banyak orang berteduh, dan gadis itu malah jadi terhimpit di pojok sembari meneliti denah rute. Tidak mungkin kan, dia naik taksi lagi setelah kemarin dan pagi ini mengantar Yoonseok karena hujan. Jaemi sempat membanting-banting kepala ke meja kafe saat menyadari bahwa uang cash di dompet nyaris terkuras habis untuk membayarnya. Meskipun ada jumlah yang cukup di rekeningnya, tapi ampun, argo-argo itu tidak berperikedompetan!

Sebenarnya, Jaemi sempat mengetuk pintu Jungkook sebelum berangkat--bukan untuk minta bantuan lagi, namun tidak ada jawaban sama sekali. Mungkin masih tidur. Ia jadi merasa bersalah karena menyusahkannya kemarin, sekaligus pertanyaan menjamur di kepala yang ditahan semalaman.

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang