8

2.8K 514 72
                                    

"Aku tidak bisa," Jaemi terus menolak. Matanya bergerak tak nyaman. Antara memaksa diri tak tertarik mendengar ajakan dari Ibu, atau perasaan awas yang mengharuskannya segera pergi dari tempat ini. Pria itu, Choi Yoonbyul segera pamit untuk mencari barang dalam daftar belanjaan keluarga mereka alih-alih mengakui ketidaksukaannya dengan keberadaan Jaemi. Keparat pengecut itu.

Ibu kini tengah mengikutinya sambil menggandeng Yoonseok di tangan kiri. Jaemi tadinya berjalan cepat sekali, namun melihat kaki kecil adiknya terseok-seok mengikuti tarikan sang Ibu, ia terpaksa memperlambat jalan. "Ibu.. kalian kenapa belanja di sini?"

Ibunya terlihat membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu sebab pertanyaan yang keluar dari mulut Jaemi cukup keluar dari konteks. "Supermarket lain ramai," Ibu berkata, suaranya rendah.

Menatap Ibu dan Yoonseok, ia merasa tidak bisa membicarakan hal begini di tempat umum, tidak tahan setiap kali sang ibu memintanya ini dan itu, hal yang tak sanggup ia lakukan, dengan suaranya yang cuma bisa membuat sesak.

"Aku mohon. Pulanglah ikut makan malam ini," wanita pertengahan empatpuluhan itu terus memohon dengan memalukan. Biar bagaimanapun, dia seorang Ibu, dan Jaemi tak tahan melihatnya memohon begini.

Jadi ia menghentikan langkah, menyadari sebentar lagi akan memasuki blok tempat daging berada. "Ibu, cukup. Aku tidak bisa," ia melirik si kecil Yoonseok yang perhatiannya tertuju pada biskuit cokelat di rak sebelah kanan. Anak itu sudah jauh lebih besar dari terakhir kali ia melihatnya. Meskipun hubungannya dengan Yoonbyul tidak akur, bocah kecil itu sama sekali tidak buruk. Mungkin kalau Jaemi harus tinggal di sana lebih lama lagi dan mau mengerti pilihan sang Ibu, ia bisa mulai menunjukkan kasih sayangnya. Tapi tidak. Tidak semudah yang dibayangkan siapapun. "Kembali lakukan kegiatan belanjamu, aku juga. Lain kali aku akan menengok kalian. Sampai jumpa."

Memajukan diri untuk menyentuh rambut Yoonseok sekilas, Jaemi meraih keranjang belanjanya dan segera berlalu.

"Kalau begitu kapan-kapan kau bisa menjemput Yoonseok."

Jaemi menoleh, menampakkan senyum kilas dan mengangguk, lalu kembali berjalan. Jika ini terlihat kejam ketika memandang wajah Ibu, tetap tidak ada siapapun yang bisa menggambarkan perasaannya. Lagipula ia sudah memutuskan untuk hancur atau bangkit sendirian. Sepatutnya bukan masalah.

***

Sabtu ini perpus lumayan sepi. Hanya beberapa meja yang diisi satu dua orang, selebihnya kosong, bahkan penjaga sudah daritadi tertidur. Menyudahi pertemuan kelompoknya, yang lain tengah membereskan barang ketika Jimin--yang akhirnya ikut pertemuan terakhir--pamit duluan. Yang lain mengiyakan sementara pria itu melangkah keluar dengan langkah kaki besar-besar.

"Jaemi, mau ikut? Nongkrong di tempat burger nih," salah satu teman perempuannya mengajak. Yang lain menatapnya juga, menunggu jawaban.

"Habis itu kita karaoke," salah seorang cowok berbehel dan rambut ala 2010-an nyengir, menggerakkan tangan yang menaikkan jari kelingking dan jempolnya.

Jaemi tersenyum kecut, merasakan perut yang sebenarnya berkeriut lapar. "Aku lelah sekali.."

"Ayolah ramaikan. Daehan suka traktir. Kami akan mengantarmu pulang, deh."

Dua puluh menit kemudian ia sudah duduk di tempat makan cepat saji. Burger sebesar piringan CD baru saja hadir di hadapannya, mengirim aroma yang menggugah selera. Jaemi tak bisa berbohong kalau ia memang lapar. Dan suka gratisan. Menggigit potongan burger yang nikmat, ia memperhatikan kawan yang lain tengah membagi gelas minuman soda masing-masing. Bercengkerama dengan heboh sementara ia hanya tertawa dan bicara ketika perlu saja. Membayangkan jika Jimin ikut, ia mungkin tidak hanya manggut-manggut saja.

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang