5

3.1K 634 69
                                    

Anak laki-laki itu tidak tahu sudah berapa kali ia harus lari ke hutan demi merasakan sakit luar biasa di punggungnya. Apa orang tuanya tahu? Tentu. Tenaganya juga semakin besar, bahkan jeruji yang mengekangnya tadi hancur berantakan.

Yang ia tahu, ia harus berlari ke hutan, mencari Peri Penyembuh. Ya. Disana ada Peri Penyembuh. Disaat rasa sakit itu datang, Peri Penyembuh bisa menyentuhnya dan rasa sakit itu berkurang. Namun hari ini, sambil menahan daging punggungnya yang serasa terkoyak, yang ia temukan adalah seorang anak perempuan yang tengah menangis tersedu di balik pohon besar tempat ia biasa bertemu dengan Peri Penyembuh. Belum sempat pergi atau bahkan melangkah maju, gadis kecil itu menyadari keberadaannya dengan cepat.

"Siapa?" dia berseru serak. Matanya jatuh pada tubuh telanjang dada milik anak laki-laki yang tiba-tiba muncul.

Di titik ini, anak laki-laki itu tak lagi bisa menahan rasa sakit di punggungnya, sehingga telapak dan lututnya sudah bertumpu di tanah. Mengerang pilu sebagai jawaban, sedang anak perempuan itu berdiri dengan ngeri. Pandangannya menangkap langkah gadis kecil itu mendekatinya, meski dengan ragu disertai tangisan takut.

"Kau kenapa?" anak perempuan itu bertanya.

Lalu mulutnya terbuka lebar, menahan teriakan tatkala menemukan punggung anak laki-laki yang jatuh bersidekap di tanah itu menampakkan guratan ungu yang timbul di kulit. Mengerikan.

Tanpa tahu harus berbuat apa, anak perempuan itu ikut berlutut di depannya. Tangisannya bukan lagi tentang kejadian beberapa saat lalu di rumahnya, melainkan; karena ia bahkan tak bisa mengukur seberapa besar rasa sakit anak laki-laki itu dibanding dirinya. Mengumpulkan keberanian, ia mengulurkan tangannya. Ia bahkan susah payah menelan ludah ketika bergerak maju untuk memeluk tubuh gemetar anak laki-laki itu, dengan tangannya yang berlumur darah.

***

Suara Sohee tidak kunjung berhenti, bagaikan aliran air di telinganya. Berbagai nasihat dan tips-tips melawan demam telah dijabarkan bahkan sebelum mereka naik bus. Setelah menemukan keadaan Jaemi yang tergeletak lemah di kursi selama sejam usai kelasnya berakhir, Sohee memaksa untuk mengantarnya pulang. Sungguh kawan yang baik, sayangnya Jaemi sekarang ingin memplester mulutnya saja.

Lift sudah terbuka saat Jaemi menajamkan matanya. Rasanya ia baru melihat langit malam tadi dan sekarang Sohee sudah membopongnya kembali ke apartemen.

"Mana kuncinya?"

Gadis yang kulitnya memucat itu merogoh tas dan menyerahkan kunci apartemennya di tangan Sohee yang terulur. Meninggalkan Jaemi yang masih berjalan gontai, temannya lebih dulu mencapai pintu apartemen.

"Hm.. aku harus mengecek isi dapurmu." Dan Sohee segera menghilang di dalam sambil bersenandung riang.

Mendengus pelan, kini Jaemi tahu apa gerangan yang membuat Sohee getol menemaninya pulang. Hanya ingin membantunya--membantunya menghabiskan cemilan. Pasti belakangan ini orangtua Sohee sedang pergi dan tidak ada makanan tersisa di rumahnya.

"Hei jalang, sudah lepas sepatu belum?" teriak Jaemi yang tidak mendapat respon. Ia melempar asal sepatunya ke rak di balik pintu.

Duduk di sofa ruang tengahnya, Jaemi menyandarkan kepala. Perjalanannya ke kampus dan bertemu Hoseok kemarin ternyata memperburuk kondisinya sampai hari ini. Seingatnya, ia jarang diserang demam sampai berhari-hari kecuali di masa kecilnya.

Ia benar-benar hampir tertidur di sofa saat mendengar samar suara Sohee, "Aku akan beli bubur instan di minimarket sebentar," dan suara pintu menutup di belakangnya. Barangkali anak itu tidak menemukan camilan tersisa di apartemennya.

Diam menatap langit ruangan, Jaemi merasakan udara hangat yang keluar dari hidung serta mulutnya. Dalam posisinya, sesuatu yang hampir ia lupakan muncul kembali dalam benaknya. Ia segera menegakkan badan untuk melihat jam di ponsel. Pukul 10 malam. Netranya mengarah ke gedung seberang dari jendelanya, lalu menggeleng. Ini sudah seminggu, dan belum pukul satu. Tidak akan muncul lagi, kan? Senyum tipis kembali tersemat di bawah matanya yang menutup lega.

Belum sempat ia kehilangan kesadaran lagi, ponsel di tangannya bergetar. Nama Sohee muncul di layar.

"Kenapa?"

"Ah sudah gila ini. Aku tidak boleh masuk gedungmu karena tidak ada kartu penghuni. Aku harus apa?"

Jaemi mendecak kesal. Seharusnya tadi Sohee membawa kartu ID yang sekarang dilihatnya terkapar di meja, agar bisa masuk kembali ke apartemen. "Bilang saja kau temanku, Demi Tuhan!"

"Sudah, tapi penjaga tidak percaya," suara Sohee seperti bocah kecil yang tidak dibelikan mainan. "Hei, apa kau tidak ingat aku keluar dari gedung ini tadi?" Sohee terdengar bicara lagi dengan orang lain di sana.

"Tunggu disana!"

Jaemi bangkit dari bangkunya sekuat tenaga, disertai perasaan jengkel. Dirinya hampir terkulai lemas dan teman yang katanya ingin membantu malah menyusahkannya. Sebenarnya siapa yang membantu siapa disini?

Menyambar kartu ID nya, ia melangkah untuk mengenakan sandal yang di tariknya dari rak samping pintu apartemen. Telapaknya yang memerah karena suhu tubuh menyentuh gagang pintu dingin serta menariknya dengan keras, dan berakhir dengan menemukan persensi seseorang di hadapannya.

Dengan kesadaran yang baru terkumpul seperempat, ia menatap lama seorang pria yang bersandar dengan tubuh tinggi yang apik--seakan memang tengah menunggunya--di ambang pintu apartemen bekas Paman Im, menatapnya tajam dengan manik legam dan garis wajah yang tegas. Sesaat Jaemi terkagum akan penglihatannya yang tak berputar selagi meneliti sosok menarik di depan sana. Namun kemudian saat menemukan garis lengkung familiar yang mulai tersemat di wajah pria itu, gejolak mual malah bergerilya di perutnya.

"Halo," suara pria itu lembut. "Lama tak jumpa. Biasanya kita hanya saling tatap lewat jendela."

###






note:
Halo. Kalau bisa untuk penikmat cerita ini, aku minta support lewat vote&comment (?)
Nulis cerita itu susah dan sangat butuh motivasi nih. Terimakasih :)

Belakangan ini aku bahkan kepikiran sesuatu karena terlalu sering menjelajah playlist spotify yang berbuah inspirasi. Haruskah cerita ini dibikin trailer? muehe~

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang