14

2.3K 415 53
                                    

Manik gadis itu kerap mengikuti kawannya yang daritadi tak henti-hentinya bergerak kesana-kemari. Memindahkan barang-barang, memberitahu Jaemi ini dan itu, melayangkan jari telunjuknya di depan hidung Jaemi dengan tatapan serius perihal pelayanan kafe. Sedangkan gadis itu hanya duduk manis di salah satu bangku sambil menikmati kepanikan yang ada.

"Lalu.. hmm apalagi ya apalagi," gumam Hoseok. Dia sekarang berdiri di tengah ruangan, berkacak pinggang dengan kepala menoleh kanan-kiri.

"Ohh." Pria itu memekik, berjalan ke jendela kafe yang luas menampakkan landscape keadaan di luar dengan sinar

matahari yang baru menyembul sedikit. "Ini, kalau siang jangan lupa tutup tirainya setengah supaya tidak bikin udara panas. Tempat ini harus tetap sejuk dan--Oh pintunya, kalau sedang istirahat harus--"

"Hei, Hoseok!"

"Apa??! Aku sedang menjelaskan--"

"Hentikan. Memang mau jam berapa kau naik kereta?"

Hoseok terpekur sejenak, menggaruk kepalanya frustasi. Kelihatan sekali pria itu khawatir soal kafenya yang akan dipercayakan pada sahabatnya, yang baru sebulanan lebih bekerja padanya. Padahal ia sudah terlihat siap berangkat dengan celana pendek dan kaus yang dibalut kemeja bunga-bunga cerah menyilaukan.

Bukannya tidak percaya, tapi Hoseok takut akan terjadi apa-apa jika dia pergi nanti. Terutama pada gadis itu, yang belakangan ini dicurigainya mulai terbuka dengan kaum pria. Pengunjung kafe akan ada bermacam-macam orang. Ada mahasiswa, paman-paman toko sayuran, dan om-om yang beli kopi di pagi hari. Dia tidak tahu evolusi cowok jaman sekarang mengerikan sekali. Pasti si Jimin itu juga, kelihatan sekali playboynya. Gadis itu tidak tahu apa-apa! Begitu pikiran Hoseok akan Jaemi. Baginya, Jaemi setajam bulu babi, tapi senaif bocah yang menginjaknya. Apa dia akan mengerti jika nanti ada ahjussi yang mengedipkan mata usil padanya, atau fans setia Hoseok yang menaruh tatapan curiga padanya. Jaemi harus ekstra hati-hati di teritorial Just Hobi.

"Oke. Aku pergi, aku pergi." Hoseok menyampirkan ransel sebesar gunung di bahunya, lalu menengok ke Jaemi lagi. "Bisakah kau meneleponku tiap waktu buka, istirahat, dan tutup kafe?"

Jaemi hampir memutar bola matanya. "Ya, ya, akan kulakukan. Cepat berangkat!"

"Oke oke." Hoseok memakai sepatunya asal, meninggalkan tali sepatu yang terjuntai di lantai.

Di balik pintu kaca, Jaemi baru siap melambai ketika Hoseok membuka mulut lagi. "Ah, mesin kopinya--"

Secepat kilat, Jaemi menutup pintu kaca, menguncinya dari dalam. Hoseok menggedor-gedor pintu dengan panik. "Hei pastikan--pastikan kau menekan tombol--"

"Apa? Aku tidak dengar. Dadah! Berhati-hatilah di jalan!" Jaemi melambai dari dalam. Meskipun suara mereka teredam pintu, namun keduanya masih bisa saling mendengar.

Setelah Hoseok menyerah dan mulai melangkahkan kakinya pergi, Jaemi menghela nafas dan terkikik akan kelakuan bosnya itu. Ia lantas kembali ke dalam membereskan pekerjaannya. Mengelap meja-meja, merapikan kursi, membersihkan jendela. Setelah itu sesuai instruksi Hoseok, tugasnya sekarang memindahkan kue-kue yang telah dipanggang bosnya itu subuh tadi ke etalase samping meja kasir. Terakhir, membalik tanda "TUTUP" di pintu menjadi "BUKA".

Sudah sekitar empat jam Jaemi menjaga kafe dan mendapati pelanggan yang kebanyakan memesan kopi sebagai bekal aktivitas mereka. Sebagian besar nampak terkejut mendapati wajah baru yang ada di balik meja, terutama kaum wanita yang pastinya telah mengidamkan senyuman Hoseok sebagai penyemangat.

Jaemi terus bolak-balik bekerja nonstop sampai waktu menunjukkan pukul 11 siang. Kafe tidak terlalu ramai, tapi selalu ada pelanggan. Ia tak kunjung mengistirahatkan tangannya. Jadi sekarang, setelah memastikan tak ada lagi yang datang, ia menggantung tanda tambahan di gagang pintu berbunyi, "ISTIRAHAT".

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang