30-a

1.1K 197 28
                                    

Halaman:

1. Aku Go Jaemi, 10 tahun. Ibu dokter memintaku menulis setelah merenung dan mengingat dengan baik.

Tapi kenapa mereka memintaku mengingat terus?

Padahal aku sudah menceritakannya dengan benar. Aku tidak lupa. Katanya, ini juga bagus supaya Pak Polisi percaya. Sedikit-sedikit saja, mulai besok.

2. Aku Go Jaemi. Sungguh merindukan Min Yoongi. Saat berlibur ke rumah Paman dan Bibi, tidak ada Yoongi. Mereka bilang, Yoongi pergi ke surga.
Tapi ada malaikat lain yang datang menggantikannya. Namanya Seira. Tapi mana ada malaikat cerewet?

Kami suka bermain di belakang rumah, menggali dan mengubur benda-benda Paman. Butuh waktu sampai aku menyadari benda-benda itu merupakan bilah-bilah pisau.
Seira dipukuli dengan benda panjang setelah sengaja melukaiku dan aku tidak pernah mau main gali-mengubur lagi.
Saat itu Seira bilang, ini demi kebaikanku.

3. Aku Go Jaemi. Lupa menceritakan soal Kookie karena pegal menulis. Kami bertemu saat aku kabur dari tempat Paman memukul Seira. Tanganku berdarah banyak, tapi kami berdua sama-sama menangis jadi aku memeluknya. Dia memiliki lebam di punggung, mungkin itu alasannya menangis kesakitan. Setelah aku tidak mau bermain dengan Seira lagi, kurasa kami berteman baik.

4. Aku sudah menceritakan ini di sesi hari ini. Seira dan aku damai. Ibu dan Bibi memaklumi. Katanya Seira memang kurang bergaul. Aku menerimanya, tapi masih takut. Jadi aku sering menghilang dan bermain dengan Kookie di hutan.

Sudah dulu, aku ngantuk. Aku bahkan tidak lagi mengingat sudah berapa lama tinggal di sini.

5. Aku menceritakan ini untuk sesi hari ini:
Malam itu seharusnya malam terakhirku di rumah Paman. Ibu sedang terlelap karena baru pulang berkumpul dengan kawan lamanya. Tapi Seira mengetuk pintu kamarku dan kami diam-diam keluar rumah. Dia bilang kita akan main Polisi dan Penculik. Karena dia seperti hampir menangis, aku pun jadi penculik. Dia menarikku ke dalam hutan gelap. Petunjuknya menculik teman lain di balik semak tinggi. Nanti Seira akan menyusul jika aku sudah menculik. Ada cahaya kuning, bau minyak dan amis.

Selesai. Ibu Dokter memintaku berhenti di sini. Supaya tanganku tidak sakit karena menulis mimpi buruk.

6. Ibu Dokter tidak melanjutkan sesi. Aku pulang hari ini dan semuanya dianggap tidak pernah terjadi. Banyak sekali hal yang belum kuceritakan. Mereka tidak akan melakukan apapun setelah mendengarnya. Aku marah. Mereka bilang aku hanya mimpi buruk.

7. Ini Go Jaemi, 13 tahun. Kami sudah pindah ke Seoul. Ternyata menahan diri selama tiga tahun untuk tidak menulis lagi cukup sulit. Selama ini aku meyakini diri bahwa semua hanya mimpi buruk. Selama itu pula Ibu terus datang ke kamar karena teriakanku dalam tidur. Mimpi burukku tidak berakhir. Aku harus menulis semuanya sebelum menggila. Benar, aku harus menghentikan ini. Tulisanku dulu sangat payah, tapi aku masih mengingat jelas kejadiannya.

8. Aku masih bisa merasakan basah keringatku saat itu. Orang-orang berpakaian gelap berkumpul, sibuk. Sebelum melangkah masuk melewati semak, aku mendengar seseorang berseru, "Min Jangri tewas dalam perjalanan kemari. Putri angkatnya lari!" Lalu seakan ada gerakan magnet, orang itu terlempar menghantam sebuah pohon. Seperti ada seseorang yang menghempasnya.

Aku takut. Satu-satunya yang kupikirkan adalah Seira. Lalu saat semua orang panik, aku melompat masuk dan menemukan Kookie di tengah rasio aneh. Duduk di tanah dan kebingungan. Aku memanggilnya dan menariknya. Tadinya semua orang sibuk melayangkan cacian dan memerintah, sebelum kami berlari kencang dan mereka mengirim begitu banyak orang untuk mengejar.
Kami berlari sangat jauh dan lama. Kurasa aku hampir mati kehabisan nafas, sebelum sosok wanita yang kukenal muncul di ujung jalan. Itu Bibi Min.

9. Dia menatap Kookie dengan jijik dan bilang seharusnya aku tidak ikut campur. Seharusnya aku diam dirumah dan tidur nyenyak. Mulutnya meracau, menyebut nama Min Yoongi dan menunjuk Kookie. Setelah umurku bertambah, aku baru paham dia mengatakan bahwa Min Yoongi mati demi anak itu. Demi Kookie. Aku merasa sangat bodoh sehingga tidak mengerti satu hal pun.

Bibi Min memisahkan kami. Dia menarik dan mendorongku jatuh. Katanya, ini harus dilakukan agar semuanya tidak sia-sia. Setelahnya, aku tidak sadarkan diri dan terbangun di rumah sakit.

Aku tidak pernah bertemu Kookie lagi sejak saat itu. Mereka menemukan mayat Paman Min dan Seira di bibir hutan, tapi tidak menemukan apapun di tempat yang kuceritakan. Bibi Min memiliki masalah mental dan tidak diadili. Ibu hanya menangis di samping tempat tidur rumah sakitku.

Saat itu aku menyadari, mereka semua, yang kumiliki saat itu, tidak berguna. Ceritaku tidak berguna. Mereka yang pergi hanya menyisakan rasa takut. Meninggalkan aku sengsara sendirian dalam kubangan memori.

Aku harap, setelah ini malamku akan tenang. Sekarang aku harus pergi dan bertemu Hoseok. Di masa depan, aku tidak ingin membuka buku ini lagi.

Selamat tinggal.

***

Maniknya menatap nanar setelah melempar buku itu ke permukaan kasur. Beberapa tetes air menuruni pipinya.

Jaemi bisa saja mengeluarkan seluruh isi perutnya sekarang juga. Perasaan takut dan bersalah menguasainya hingga sulit membedakannya dengan amarah. Jika takut dan marah juga tidak cukup, maka satu-satunya kata yang sempurna untuk menjelaskan situasinya sekarang ini adalah rasa dikhianati. Oleh pikirannya sendiri dan oleh harapan yang telah dikaitkannya tinggi-tinggi, entah untuk apa.

Jaemi berjalan mondar-mandir di lantai kamarnya, terkadang terhenti dan menatap keluar jendela, tepat ke jendela seberang yang memiliki cerita. Gadis itu kembali menjatuhkan diri ke kasur, membungkuk dan mengerang kesal.

Seperti orang tolol. Selama ini Jaemi kira, semua sudah berakhir. Ia kira, sosok anak itu benar-benar telah masuk ke pusaran waktu dan lenyap ditelan tragedi. Jaemi perlu bertahun-tahun menelan rasa bersalah dan dalam semalam, semua perasaan itu memenuhi dadanya kembali. Lebih buruk, malah.

Ia bangkit, mengenakan kembali kardigan yang sore tadi dilemparnya ke kasur. Matanya melirik lagi buku hijau tua dengan pilu sebelum menyambarnya kembali. Bukannya gadis ini ingin mendekati masalah atau apa, tapi hal ini adalah penting baginya. Sangat penting sehingga dalam diam ia berharap semua semestinya baik-baik saja. Semua tidak seburuk yang ada dalam kepalanya dan yang dituturkan orang-orang.

Jeon Jungkook.. Kookie masih hidup..

Seharusnya baik-baik saja saat gadis itu melangkah keluar dan mengetuk keras pintu di seberang. Meremas buku dalam genggamannya, memanggil nama Jungkook dan berpikir semua hanya akan jadi hari-hari lain dimana ia mampir dan membicarakan hal tidak penting dengannya. Atau beralasan mengambil mangkuknya, barangkali.

Tapi tidak. Titik dimana ketukannya tak berbuah hasil, dimana tangan tidak sabarannya dengan berani memukul engsel yang sejatinya sudah rusak dan memperlihatkan ruangan yang hanya diterangi sinar bulan dan gemerlap metropolitan dari jendela terbuka, gadis itu tahu semua tidak akan bisa lagi sekedar baik-baik saja.

Sesungguhnya bahkan, baik-baik saja tidak pernah ada di kamus takdirnya.

Sebab dihadapannya kini, adalah dua benda besar kelabu yang bengkok nyaris sebesar sofa, dengan luka gores berdarah di beberapa sisi, mencuat dari punggung kekar seorang pria yang bersimpuh lemah di depan jendela. Bukan hanya itu, tubuh separuh telanjang yang nampak pun bukanlah polos yang indah seperti yang pernah Jaemi bayangkan. Namun sekarang adalah luka sayatan beserta urat menggelap yang mengakar di bawah kulit itu, membuat bulu roma siapapun yang melihatnya bergidik ngeri dan ingin berlari menyelamatkan diri. Bercak darah mengering meninggalkan bekas di lantai sekitar, seakan rumah yang berantakan tidak cukup membuat pemandangan semakin buruk.

"Go Jaemi, jangan kesini," desis pria itu lirih, menoleh dengan netra nelangsa yang nyaris kehilangan kesadaran.

Jungkook terluka parah.

###










Was gonna post this last night but i kelupaan. Bagian b yang lebih panjang sudah dalam proses, akan di up secepatnya~

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang