24

1.7K 322 100
                                    

unedited. hampir 2k word meski buru-buru dan ngantuak~

***

Jaemi setengah melamun. Tetes air dari rambutnya nyaris masuk ke dalam cangkir jika gadis itu tidak segera menghindar. Kaus putih yang dikenakannya tidak begitu kuyup, namun sweaternya yang diletakkan di kursi meja makan bernasib beda.

Netranya melirik pada Jungkook yang tenggelam di kursi ruang tengah--hanya terlihat puncak kepalanya. Tidak ditunjukkan, tetapi Jaemi tahu pria itu menggigil. Ia buru-buru meletakkan sendok di watafel dan membawa dua gelas teh hangat ke depan. "Minum ini dulu," Jaemi menyodorkan salah satunya.

Jungkook menengadah. Lagi-lagi gadis itu tidak bisa menghalau perasaan hancur ketika manik legam Jungkook bertemu dengannya. Seperti kelinci kecil yang butuh pelukan, dan akan sangat canggung bila Jaemi berani melakukannya meski bersedia.

"Akan kuambilkan baju ganti." Gadis itu seketika ingat pakaian Jungkook yang masih ada di lemari pakaiannya. Namun gerakannya terhenti ketika pria itu meraih pergelangan tangannya, membuat sesuatu dalam tubuhnya meremang hangat.

"Tidak perlu," kata Jungkook, menepuk sisinya agar Jaemi duduk. Omong-omong, gadis itu hampir lupa kalau mereka sedang berada di rumahnya. Sensasi berada dalam satu ruangan dengan Jungkook belakangan ini membuatnya nyaris hilang akal, dimana biasanya ia adalah gadis paling penuh pertimbangan di dunia. Ia merasa tiap kata dan tindakannya jauh dari terdistorsi, tapi menyenangkan.

"Apa yang kau pikirkan, hujan-hujanan begitu?" Jungkook menggeleng perlahan, memutus kontak mata darinya. Melirik sofa yang menyerap basah pakaian mereka, Jaemi menghela nafas. "Kau bisa kena flu. Ada apa lagi denganmu kali ini? Kehilangan kunci apartemenmu?"

Setidaknya, sudut bibir Jungkook akhirnya tertarik tipis. Meski netranya masih redup, pria itu tak lagi menggigil. Hanya saja, pucat kulitnya terlalu ekstrim bahkan memperlihatkan jelas warna urat di bawah kulitnya, membuat Jaemi sedikit ngeri dan khawatir. Oke, setidaknya jika dia pingsan lagi, posisinya tepat di atas sofa.

Jaemi mengawasinya sembari meminum tehnya sendiri. Banyak pertanyaan, namun ia memutuskan untuk menyimpannya. Membantu seperti ini adalah hal pertama yang bisa ia lakukan. Lagipula daripada mengetahui masalah orang lain--dimana ia mungkin tidak bisa menolong sama sekali--lebih baik Jaemi mengevaluasi ulang tindakannya hari ini. Yang kalau dipikirkan lagi, norak dan menggelikan.

"Minuman ini. Darimana kau mendapatkannya?" Jungkook tiba-tiba bersuara.

"Ini pemberian temanku. Harumnya memang enak."

Jungkook terlihat sedikit bingung dari kerutan dahinya, namun kembali normal saat melanjutkan, "Dulu seseorang membuatkanku minuman persis seperti ini, untuk menenangkanku. Namun semakin aku dewasa, jumlah yang dibutuhkan semakin banyak, semakin tidak cukup, sampai aku tidak bisa menemukan banyak manfaat lagi darinya."

Alis Jaemi naik sebelah. Apa Jeon Jungkook sekarang benar-benar sedang membicarakan teh?

"Um, bukankah teh ini di jual di pasaran?"

Jungkook tidak menjawab melainkan kembali minum sambil menaik-naikkan bahunya. Pria ini memang agak aneh.

"Aku tahu kau memiliki banyak pertanyaan." Jaemi yang baru mempertemukan bibirnya pada cangkir nyaris tersedak. Netranya kembali bertabrakan dengan milik Jungkook ketika pria itu menambahkan, "Aku juga, Jae. Tapi ini tidak sesederhana menelan air. Selain itu, ada banyak hal yang harus kulalui."

"Apa maksudmu?" Jaemi meletakkan tehnya di meja.

"Jaemi," Jungkook setengah berbisik, meraih dan kembali mempertemukan telapak keduanya yang menghangat. Untuk sesaat Jaemi baru menyadari bahwa jarak mereka memang hanya beberapa puluh inci dan harus diakui, jika Jungkook berbisik pun mampu membuat perutnya digelitik tak karuan. "Sejak awal kita bertemu, aku selalu memiliki masalah dan kau tidak punya pilihan selain menolongku. Aku bukannya tidak menyadari ini kemarin tapi hari ini, aku begitu berterimakasih."

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang