13

2.3K 440 95
                                    

Segelas air habis dalam tiga tegukan, kakinya terulur di lantai dingin, di samping Jungkook terbaring.

"Sialan, pinggangku..," Jaemi memegangi pinggangnya yang ngilu, sebab menyeret tubuh pria yang sedang lemas total bukanlah hal mudah. Butuh seluruh otot tubuhnya untuk melakukan itu. Ia sempat bermaksud meninggalkan saja Jungkook di luar sana, namun hati nuraninya berkata lain. Sekarang setelah berkali-kali mencoba, ia lebih kesulitan melanjutkan misi kedua; memindahkan Jungkook ke sofa.

Bersandar, matanya tertuju pada pria yang tengah kesulitan bernafas, meringkuk kedinginan di lantai. Pipinya sedikit menggembung dalam tidur--innocent, membuat wajahnya sama sekali tak mengingatkannya akan sosok mencurigakan di jendela seberang. Jaemi bahkan tak bisa menahan tangannya untuk menyentuh pipi pria itu. Lembut seperti bayi, berbanding terbalik dengan badan bisepnya. Dan apa itu di kedua telinganya? Anting?

Ia memiringkan kepala, menatap Jungkook kasihan. "Aku tidak bisa mengangkatmu ke sofa," bisiknya.

Kurang dari sedetik, tiba-tiba mata Jungkook terbuka, sayu menatap ke segala arah. Ada kurva kecil terbentuk lemah di bibir tipisnya. Jaemi terkejut, diam di tempat tanpa menyadari posisinya mirip orang yang mau macam-macam.

"Aku akan naik sendiri," suara Jungkook serak, menyadarkannya untuk buru-buru menyingkir. Pria itu bangkit perlahan, tak menghilangkan senyum di wajah pucatnya.

"Kau baik-baik saja?"

Jungkok merebahkan tubuhnya santai di sofa Jaemi. "Tentu aku tidak baik-baik saja."

"Itu bisa bangun." Jaemi berdiri, menatap Jungkook curiga.

"Sumpah aku tak punya tenaga lagi." Jungkook menghela nafas sebelum menutup matanya.

Jaemi merengut kesal. Hampir kembali mengoceh sampai pandangannya teralih pada tas besar di balik sofa dari pelukan Jungkook tadi, yang ia bawa masuk setelah menyeret pria itu ke dalam. Aroma lezat dari sana yang sedaritadi memenuhi udara membuatnya penasaran sekaligus lapar.

"Oi, ini apa?" tanyanya pada Jungkook sebelum menengok isi tas itu.

"Makanan, milikmu."

"Dari siapa?"

"Seorang wanita, menunggu berjam-jam di luar sampai aku keluar dan menawarkan jasa titip," Jungkook bicara setengah teler, Jaemi harus susah payah memahaminya. "Kukira dia siapa, memiliki akses masuk apartemen. Ternyata Ibumu." Selanjutnya tidak ada suara selain nafas tenang dari balik sofa. Jungkook kembali terlelap. Pria itu memang terlihat benaran sakit.

Jaemi mendecak, lantas tersenyum miring. Sohee yang sering kemari saja sulit sekali masuk kalau tidak bersamanya. Wanita yang membayar apartemennya tentu saja bisa masuk dengan mudah. Tapi, tumben sekali sih. Jaemi jadi menatap kotak-kotak berisi makanan itu dengan senyum samar, berjongkok membauinya sampai puas.

"Makasih..," bisiknya lirih, entah untuk siapa. Tak menyadari pria yang berbaring di sofa sedang memerhatikannya dengan kedua alis bertaut.

***

Keesokan siang harinya, Jaemi baru terbangun. Wajah bengkak dan mata lengket menyambutnya di pagi hari, menunjukkan kelelahannya semalam bukan main. Keluar dari kamar yang dikunci rapat-rapat, ia tak menemukan Jungkook di sofa rumahnya.

Baguslah, ia menghela nafas. Tapi apa pria itu sudah jauh lebih baik? Jangan-jangan dia pingsan lagi saat kembali ke apartemennya. Jaemi jadi merasa bersalah karena tidak bangun pagi untuk menyiapkan setidaknya teh hangat atau obat demam untuk pria itu. Maksudnya, mereka berdua sama-sama tinggal sendirian dan--kalau dipikir-pikir, tidak ada salahnya saling membantu. Selalu menjadi tetangga yang tidak bersahabat kan juga tidak baik.

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang