1

5.9K 747 74
                                    

Dengan berat, Jaemi mengangkat bahunya setelah merasakan tepukan berulang. Ia merenggut pelan, merasakan keretak pelan dari tubuhnya.

"Yaampun. Kau berani sekali tidur di kuliah GalbiJang," bisikan seseorang terdengar menggelitik telinganya.

Jaemi mengucek mata dan menyingkap sebagian rambut gelapnya yang turun. Ia melirik dosen yang tengah mengutak-atik laptopnya, mendengus pelan, kemudian memalingkan pandangannya pada wanita di sebelahnya.

"Sohee, aku benar-benar susah tidur belakangan ini."

Lawan bicaranya mengeleng heran. "Dua bulan lalu, kau begini juga. Mau ke dokter?"

Tidak menjawab, Jaemi menyandarkan punggungnya di bangku. Menatap keluar jendela ruang kuliah. Cuaca sangat cerah hari ini. Tidak ada awan, burung beterbangan bebas. Tapi matahari di luar terhalang dedaunan dari pohon pekarangan kampus. Ia selalu berharap matahari terus ada untuk menemaninya, mengingat bulan belakangan ini selalu meninggalkannya meringkuk cemas hampir tiap malam.

Menyadari perkataannya tak terbalas, Sohee mencubit paha Jaemi, membuatnya terlonjak keras. Beberapa kepala menoleh untuk memberi tatapan membunuh. Alih-alih kesakitan, Jaemi melirik panik pada GalbiJang. Nampaknya dosen gendut itu tidak menyadari apapun. Matanya kembali melihat Sohee tajam.

"Aku bilang padamu, konsultasilah ke dokter!" bisik Sohee gemas.

Jaemi menggeleng. "Ini bukan soal itu."

"Lalu soal apa? Kau tidak lihat wajahmu yang berantakan? Insomniamu semakin parah," Sohee menelisik inci wajah Jaemi. "Ceritalah padaku jika ada masalah."

Semilir ketenangan menelusup hati Jaemi. Ia tahu, Sohee khawatir. Khawatir sungguhan. Menatap lurus pada manik wanita berwajah tirus itu, ia bersuara dalam diam. Aku bahkan tidak bisa menceritakannya padamu.

Pada akhirnya ia hanya bisa memasang senyum paksa. Terlalu memaksa hingga matanya menyipit.

"Aku tahu. Tidak ada masalah. Aku akan baik-baik saja."

***

"Hati-hati!"

Jaemi mengangguk seraya melangkah turun. Bus yang tadi ditumpanginya bersama Sohee telah pergi. Ia menutupi dahi dari sinar matahari dengan tangannya seraya berjalan menyeberangi jalan raya yang ramai. Di depan sana menjulang gedung apartemen dengan beberapa kembaran yang berjajar di sebelahnya. Terlihat megah, tapi tentu tempatnya hanya sebuah apartemen minimalis, bukan seperti bayangan orang akan apartemen mewah yang ditempati selebriti.

Memasuki lobi, tangannya merogoh tas untuk menemukan kunci apartemennya. Kakinya melangkah masuk ke dalam lift yang telah diisi oleh seorang pria paruh baya berwajah masam. Jaemi mengenalnya. Pria ini tinggal tepat di seberang pintu apartemennya.

"Oh, selamat sore," Jaemi menyapa.

Pria itu menoleh dan mengangguk. Beberapa lama sebelum mencapai lantai 15, hanya diisi keheningan. Jaemi tengah memainkan ponselnya ketika pria itu berdeham.

"Pihak apartemen ini sungguh kurang ajar," pria tersebut menggerutu. Ia terlihat memeluk erat beberapa kardus kosong.

"Apa ada yang salah?" Jaemi menanggapi dengan ragu.

"Kau tahu, tiba-tiba saja aku harus pindah karena pihak apartemen mengklaim ruanganku rusak dan harus direnovasi. Aku akan di pindahkan ke blok C mulai sekarang."

Jaemi mengernyitkan dahinya. "Benarkah? Apa apartemenmu benar-benar rusak?"

"Empat tahun aku tinggal, tidak ada yang salah. Aku bahkan membayar angsuran dengan rajin," pria itu mendecak kesal.

Denting terdengar, pintu lift terbuka. Mereka berjalan bersama di lorong apartemen.

"Paman, jadi apartemenmu ini akan kosong?"

Pria itu mengangguk. "Tidak akan jadi apartemenku lagi," gumamnya. Dahinya berkerut dalam saat melanjutkan, "Kurasa ada hal aneh yang disembunyikan pihak gedung. Entah apa."

"Maksudmu?"

"Yah. Tidak mungkin secara tiba-tiba, penyewa disuruh pindah. Bahkan mereka memberi ganti rugi. Ini aneh."

Langkah mereka terhenti. Mereka telah sampai di depan pintu apartemen masing-masing.

"Kau akan baik-baik saja?" Jaemi bertanya sebelum membuka kunci apartemen.

Pria tua itu menarik sudut bibirnya. "Tentu. Setidaknya ada suasana baru dan uang ganti rugi."

Jaemi menatap pria itu sedih. Ia tidak mengenal siapapun lagi yang tinggal di lantainya. Kepindahannya kesini sekitar setahun lalu hanya disambut ruang apartemen yang berdebu dan suara konstruksi dari beberapa bangunan. Bertemu dengan Paman ketus ini saat tidak sengaja berpapasan ketika buru-buru pergi kuliah dua minggu setelah kepindahannya. Mereka tidak saling memberi kue beras seperti yang Jaemi pernah lihat di film. Hanya saja walaupun terlihat tidak bersahabat, Paman Im diam-diam orang yang cukup baik. Tetangganya itu pernah membantunya membetulkan beberapa kerusakan. Well, juga beberapa kali membantunya komplain. Keran yang mati, engsel yang rusak, dan rasa tenang akan adanya tetangga yang dikenal. Tipikal manusia yang Jaemi suka.

"Kalau begitu semoga sukses di blok baru, Paman Im," tangannya berhasil membuka kunci apartemen.

"Ya, semoga sukses dengan hidup dan kuliahmu," balas pria itu. Jaemi melemparkan senyum manis terakhir sebelum menghilang di balik pintu.

Setelah menutup pintu, kakinya yang masih mengenakan sepatu kets melangkah gontai ke ruang tengah. Dari jendela ruang itu, ia tetap bisa melihat ke gedung di seberang. Bahunya merosot seraya nafasnya dihembuskan keras. Setelah ini, Jaemi akan benar-benar sendirian.

###


note:
Halo. Pertamakali publish fanfiction. Hope u guys like it, dan salam kenal di dunia wattpad.

Akhirnya aku memberanikan diri untuk publish cerita usang ini di hari ulang tahunku sebagai tanda apresiasi diri dan ngerayain ultah Jimin 30 menit lagi (SK). Aku harap bisa terus lanjut disertai support tentunya.

Cerita ini hanya fiksi. Tidak berhubungan langsung/nyata terhadap tokoh manapun di realita.
Teliti dalam membaca dan bersabar dalam menunggu update.

Aku sangat mengharapkan apresiasi dari pembaca, jadi mohon tinggalkan jejak ya.

Vote and feedback NEEDED.

Selamat menikmati!

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang