23

1.7K 305 65
                                    

Jaemi mungkin agak pilek, tapi harum yang menyeruak dari kantung berisi sekotak teh sungguh menyenangkan penciuman. Ia tidak tahu teh apa yang telah Nyonya Archie berikan sebagai permintaan maaf, tapi gadis itu tengah menahan diri untuk tidak melukai tangannya sekali lagi dengan membuka bungkusan tersebut setelah Jimin telah membalut luka di tangannya.

"Padahal hari ini aku ingin menunjukkanmu sesuatu, tapi sepertinya belum bisa," kata Jimin, melirik Jaemi dari kursi kemudi.

"Kenapa?"

"Tidak jadi saja, ditunda," Jimin nyengir. "Aku hanya ingin kau menemaniku hari ini."

Jaemi terdiam, bibirnya agak maju menandakan sedikit rasa kecewa. Walau begitu, sebenarnya bukan masalah besar diajak keluar, kecuali Jimin mengajaknya keluar saat langit mulai hujan begini tanpa kendaraan yang memiliki pemanas. Minggu depan sudah memasuki musim dingin.

"Nyonya Archie adalah pengasuhku, sejak dulu sekali. Nenek tua itu kerap memaksaku bernyanyi untuknya, pengasuh yang jahat," Jimin tiba-tiba menjelaskan, terkekeh. "Setelah dia berhenti dan membuka toko begini, aku malah datang dan terus menyusahkannya."

"Kau sedekat itu dengannya? Pantas saja."

"Sulit dipercaya, kan. Kalau melihat kepribadiannya itu," sahut Jimin, tersenyum tipis. "Kebanyakan orang ingin melupakan banyak hal di masa lalu mereka, misalnya pengalamanku dengan Nyonya Archie. Tapi kau tahu? Aku tidak punya pilihan selain terus mengingat kebaikannya. Akan lebih baik jika kita sebagai manusia membuang jauh-jauh kesialan di masa lalu, bukan?"

Jaemi termenung cukup lama. Aliran air di kaca jendela menghibur benaknya yang bergerilya bebas. Batinnya berteriak setuju. Masa lalu yang buruk itu pantas di buang. Ia ingin melakukannya. Tapi bagaimana bisa membuang suatu hal yang sejak awal bukan miliknya? Semua hal buruk itu memang diyakini terjadi. Tapi Jaemi merasa dibohongi ketika trauma menutup matanya, merasa didikte akan memori palsu, dikerjai oleh otaknya sendiri. Yang lebih buruk daripada rasa takut menghantui, adalah mengetahui jika perasaan itu palsu. Ia benci Ibu dan orang-orang dari masa lalunya karena itu, terlebih pada dirinya sendiri yang lemah.

"Mungkin kau benar," ucapnya berbisik.

Hening sejenak dan Jaemi mengambil waktu untuk mengecek ponselnya. Sudah sore, sesuatu baru saja muncul di kepalanya setelah beberapa lama. Ia hampir lupa janjinya dengan Jungkook hari ini. Gadis itu belum menerima balasan setelah mengirim pesan menanyakan pukul berapa mereka akan pergi ke toko elektronik--yang kemungkinan besar ditunda karena cuaca. Jemarinya terus mengetuk layar ponsel yang lompong notifikasi dan hanya menunjukkan wallpaper foto Yoonseok yang diam-diam diambilnya ketika anak itu asyik mencoret-coret buku di ruang tamu.

Jimin diam-diam membagi fokusnya, sudut matanya melirik sedikit ke arah ponsel gadis itu.

"Tapi Jaemi, ada sesuatu yang membuatku penasaran," Jimin berkata, tangannya bergerak mahir memutar stir ke kiri. Barisan apartemen mulai terlihat, namun jarak pandang terhalang deras hujan dan macet. "Apa kau sering bertemu Pak Namjoon belakangan ini?"

Kedua alis Jaemi bertaut bingung. Sebuah pertanyaan yang tidak Jaemi kira akan keluar dari Jimin hari ini. Gadis itu jadi ingat waktu itu di perpustakaan, Jimin pernah bergumam soal tidak menyukai dosennya itu.

"Kami bertemu sesekali di minimarket dekat apartemenku. Mungkin dia tinggal di sekitar sini," jawab Jaemi, sebisa mungkin terdengar acuh tak acuh. "Kenapa? Kau punya masalah dengannya?"

Wajah Jimin mulai terlihat lebih gelisah dari Jaemi. Entah apa yang ada dipikirannya ketika bertanya, "Apa baru-baru ini kau berkenalan dengan orang baru? Seorang asing yang.. langsung akrab denganmu?"

Mobil kembali merayap, dan situasi tenang yang sedaritadi mereka miliki mulai pudar. Jaemi menekan tombol hijau pada kontak Jungkook, namun tidak meletakkannya di telinga. Ia dapat merasakan suatu hal yang ingin disampaikan Jimin, sesuatu yang tidak mengenakkan, dan luka di tangannya tiba-tiba kembali perih.

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang