4

3.4K 565 41
                                    

Laki-laki berpostur pendek itu menatap Jaemi lebih heran lagi. "Sedang apa kau disini? Ini bukan tempatmu, Nona."

Jaemi mengerjap untuk menemukan laki-laki dihadapannya mengenakan pakaian petugas apartemen, memeluk kardus berisi rongsokan kayu dan kertas. Nafasnya menghembus lega. Ia ingat saat mantan tetangganya bilang, pihak apartemen memaksanya pergi karena ada kerusakan.

Jaemi mengigit bibir bawahnya gugup. "Maaf, Tuan. Aku kira siapa."

"Berhati-hatilah lain kali. Sampah-sampah ini hampir terjatuh karena kau," laki-laki itu hampir berjalan lagi.

"Sebentar Tuan, tapi apa ada yang akan pindah kemari? Paman yang kemarin tinggal di sini tiba-tiba dipaksa pindah, alasannya karena ada kerusakan, bukankah--"

"Nona, kurasa kau salah mengerti. Disini tugasku hanya membersihkan, bukan membetulkan. Aku tidak tahu untuk apa, tapi berpikirlah logis untuk apa sebuah apartemen bekas dibersihkan?" jawab si tukang bersih-bersih ketus, kemudian ia melangkah keluar diiringi suara berisik dari sampah yang dibawanya.

Jaemi masih berdiri di tempatnya, menatap punggung petugas itu dengan jengkel. Setelah beberapa saat menelisik ruang apartemen Paman Im yang berdinding abu-abu telah lompong, ia segera keluar dari ruangan itu.

***

"Minumanmu," seorang pria tersenyum manis seraya menyodorkan satu cup kopi tepat di depan wajah setelah Jaemi memasuki kafe.

"Kau mengagetkanku," Jaemi meraihnya, membuka, dan langsung menyesap minuman itu. Orang bilang, americano adalah real coffee, nyatanya bagi Jaemi, semua kopi yang mengandung kafein sama saja. Bahkan rasa manis latte yang tengah ia minum sekarang pasti mengandung kafein, kan? Masa bodoh dengan lemak glukosa dan omong kosong lainnya.

Pria tadi kini tengah berlari kecil ke suatu tempat, memperlihatkan tulisan "HOE-SEOK" di bagian punggung kaos hitamnya dengan gambar monster wanita jelek yang tersenyum di bawahnya, dan kembali membawa sepiring churros untuk diletakkan di tengah meja mereka. Senyum lebar yang bersinar diwajahnya berbanding terbalik dengan kondisi Jaemi saat ini.

"Jadi?" Pria itu memulai. Sejenak menyadari Jaemi yang hanya diam menatapnya. "Bagaimana kabarmu? Terakhir kita bertemu beberapa kali saja sejak kau pindah."

"Aku sangat baik," Jaemi memberi senyum simpul.

"Aku rasa tidak begitu. Kau pucat. Sakit ya?" tangan Hoseok sudah mendarat di dahi Jaemi, mendapati suhu yang tak normal di sana. "Yaampun, Jaejae. Mengapa kemari kalau sedang sakit?" pekik Hoseok yang melompat dari kursinya untuk menyambar remote pendingin ruangan dan meninggikan suhunya.

Melihat kelakuan Hoseok, ia tersenyum sendiri. "Duh serius, tidak ada yang bisa kulakukan untuk mencegah penyakit menghampiri, kan."

Sahabatnya yang telah merintis usaha kafe tanpa mengecap bangku kuliah itu, meski dengan modal keluarganya yang berkecukupan, sangat hebat di mata Jaemi. Menurut pria ini, kuliah tidak akan cocok dengannya. Lalu dengan senyumnya, dan rasa kopi serta hidangan manis yang enak, ia berhasil menggaet banyak pelanggan terutama mahasiswi dekat sini. Namun siang ini kafe terlihat sepi, berbeda dengan beberapa kali terakhir saat ia kesini. Ia memijit dahi ketika mengatakan, "Jam segini kafemu belum buka?"

Hoseok yang sudah kembali duduk menggeleng. "Saat kau bilang akan datang, aku memutuskan buka sore saja."

"Ei, kok gitu sih?"

Pria di hadapannya mengedikkan bahu. "Demi kawanku yang tercinta." Jaemi tersenyum geli sebelum memasukkan churros ke dalam mulut sedangkan Hoseok meneguk kopinya. "Omong-omong, kau belum mendapat kerja paruh waktu?"

InvolvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang