Prolog

15.6K 529 11
                                    

Gerimis. Aku bisa merasakan gerimis diwajahku. Sesaat aku berpikir, aku dimana? Kenapa aku kehujanan? Rasa kantuk mengalahkan semua pikiranku dan aku mencoba tidak menghiraukan gerimis yang membasahiku. Tapi tunggu... aku tidur? Ditengah gerimis?

Perlahan kesadaranku kembali, membuatku menggeram kesal. Aku dikamar, mana mungkin ada gerimis. Dan kamarku tidak bocor. Seketika aku tau apa yang terjadi. Kutarik selimutku menutupi seluruh badanku sambil menggumamkan kata-kata yang lebih mirip racauan tidak jelas tentang, "pergi atau kau akan mendapat balasannya".

Alih-alih aku mendapatkan ketenangan, si tersangka menarik selimutku dan berbalik mengancamku.

"Bangun woi! Nggak bangun sekarang gue siramin nih semua air se ember" ucapnya dengan nada tinggi penuh ancaman yang tidak kuhiraukan dan tetap berusaha kembali kealam mimpiku.

"Gue hitung sampe 3, satu...." ucapnya lagi. "Dua.... ti...." dia sengaja memperpanjang hitungan ketiganya, berusaha menakutiku dan merubah pikiranku. Satu hal yang kupahami, dia tidak pernah hanya sekedar mengancam dan selalu melakukan ucapannya.

" iya iyaaaa gue bangun" teriakku kesal dan mencoba duduk diatas kasur walaupun masih dengan mata tertutup. Aku menyerah sebelum dia selesai mengucap hitungan ketiga, jelas aku tidak ingin basah kuyub di pagi hari karna disiram dengan air satu ember yang entah bersih atau kotor itu.

Aku mendengar suara debum ember yang diletakkan dilantai dengan keras. Terdengar juga suara air yang tumpah dan memercik ke lantai. Aku bergidik ngeri, aku tau ember itu penuh terisi air dan jika dia menyiramku dengan itu bukan aku yang kukhawatirkan, tapi kasur dan sprei lembutku. Jika mereka basah, bagaimana aku bisa tidur dengan nyenyak nanti malam? Mengungsi kekamarnya jelas bukan pilihan.

"Melek nggak? Katanya mau ikut jogging? Ayo buruaaan" aku membuka mata, dan melihat kearah lawan bicaraku. Dia kakakku, sedang menatapku kesal dengan kedua tangan terpasang dipinggangnya.

"Gue berubah pikiran" pernyataanku lebih terdengar seperti pertanyaan. Mencoba meminta pendapatnya, apa bisa aku berubah pikiran?

Kakakku hanya menggeleng dan menarik tanganku secara paksa. Dengan enggan aku turun dari kasurku yang sangat megundang, dan berjalan kekamar mandi, masih ditarik paksa.

"Cepet cuci muka, ganti baju. 5 menit nggak selesai kasurmu basah kuyub" ancamnya lagi. Ancaman yang sangat mengerikan dan berhasil membuatku berlari masuk kamar mandi dan segera mencuci muka. Dia benar-benar tahu kelemahanku. Kadang aku menyesal memilikinya sebagai kakak, dia terlalu paham tentangku dan rasa cintaku pada kasurku.

Namaku Mia Cara, yang berarti my dear dalam bahasa Italia. Orang-orang biasa memanggilku Kara. Aku akan berumur 18 tahun dalam 3 bulan, jadi jangan anggap aku berumur 17 tahun karena aku bukan remaja berusia 17 tahun lagi. Aku sudah dewasa, sebentar lagi umurku 18 tahun. Tidak banyak orang yang tahu nama margaku, aku selalu memperkenalkan diri dengan hanya Mia Cara saja. Dan aku bersyukur ketika guru-guru disekolahku juga nampaknya terlalu malas untuk menyebutkan nama margaku yang agak sulit saat memanggilku. Jadi, ya tidak banyak yang tahu. Margaku Caztiglione. Mia Cara Caztiglione. Hard to spell? Ya, maka dari itu aku tidak suka menyebutkan margaku, lebih tepatnya aku tidak suka orang salah menyebutkan margaku.

Papaku berasal dari Italia. Mamaku asli Jakarta Pusat. Mereka bercerai saat aku berumur 12 tahun, kemudian papa kembali ke negaranya dan melepas kewarganegaraan Indonesia yang sempat dimilikinya. Saat itu aku belum dewasa, tapi aku paham apa arti perceraian. Saat aku bertambah dewasa aku sadar, mereka bercerai dengan damai. Tanpa perebutan harta gono gini, papa menyerahkan semuanya pada mama. Juga tanpa perebutan hak asuh, mama ingin kami besar di Indonesia. Oh, aku dan kakakku masih sering berhubungan dengan papa, via telepon ataupun video call. Kami hanya satu kali pergi berlibur ke Italia untuk bertemu papa. Itu terjadi sekitar 5 tahun yang lalu. Kami sangat ingin kembali berlibur kesana, tapi kalian tahu biayanya sangat mahal.

Saat ini aku di tahun terakhirku di SMA. Dalam 2 bulan aku akan melalui ujian nasional, dan segera terbebas dari sekolah yang sangat mengekang dan lebih mirip seperti penjara itu. Aku tidak bilang masa SMA ku buruk, malahan sangat menyenangkan. Hanya saja, sekolahku sebagai salah satu SMA swasta terfavorit di seluruh Jakarta, memiliki peraturan yang sangat ketat. Lebih ketat dari pakaian anak muda jaman sekarang. Dan hal itu membuatku ingin segera keluar dari penjara berlabel sekolah itu. Tapi aku yakin, kelak aku akan sangat merindukan masa masa SMA ini.

Aku keluar dari kamar, dan segera turun ke lantai satu, berlari kecil ke dapur tempat dimana kakakku bilang akan menungguku. Saat ini aku sudah mengenakan tank top hitam, ditambah jaket berwarna pink dan celana legging berwarna senada. Lengkap dengan running shoes dan tas kecil yang kuikatkan dipinggang untuk bekal minumku. Rambut kuncir kuda tinggi, tipikal orang yang ingin olahraga dan tidak ingin rambut menempel sembarangan diwajah yang nantinya basah oleh keringat.

Aku mengambil botol minum yang sudah terisi penuh dan memasukkannya kedalam tas kecilku. "Ayo kak" ucapku setelah siap memulai olahraga pagi ini. Kami rutin melakukan jogging keliling kompleks perumahan kami setiap akhir pekan. Walaupun kakak terkadang harus bersusah payah dulu untuk membangunkanku.

Walaupun aku memiliki darah italia dari papa, aku bukanlah perempuan cantik seperti yang kalian bayangkan, ataupun yang selalu digambarkan di televisi. Benar, aku sedikit memiliki wajah ala ala bule, mataku coklat terang, dan rambutku alamiku berwarna coklat gelap. Tapi secara keseluruhan, aku lebih mirip mama daripada papa. Papa hanya menyumbangkan mata, hidung mancung, dan tingginya saja padaku. Sisanya kudapat dari mama.

Aku tidak cantik, seperti keturunan campuran lainnya. Badanku gemuk, 30kg lebih besar dari berat badan normal yang seharusnya kumiliki. Jangan tanya beratku, itu sensitif. Wajahku bulat seperti ibuku. Dan aku memiliki banyak jerawat ddisana sini. Kulitku bisa dibilang gelap, akibat seringnya aku berada diluar ruangan untuk hunting gambar. Satu-satunya hal baik yang ada didiriku adalah tinggiku, 170cm dan masih terus bertumbuh, diatas rata-rata teman perempuan disekolahku.

Sangat berbanding terbalik dengan kakakku. Kakakku bernama Bella Rosa Caztiglione, yang artinya mawar cantik. Seperti namanya kakakku sangat cantik, dia mendapatkan seluruh gen papa, dan menyisakan hanya sedikit untukku. Tingginya 185cm, badannya seksi dan ideal, kulitnya coklat eksotis, wajahnya mulut tanpa jerawat, matanya coklat terang, hidung mancung, dan bibir merah tebal. Dia adalah definisi sebuah perfection. Umurnya 20 tahun dan dia menekuni dunia modeling selepas SMA.

Bagaikan kutub yang berlawanan, kami tercipta sangat berbeda. Tapi bagaikan kutub berlawanan pula, kami saling menarik satu sama lain. Hubungan kami sangat dekat dan tidak terpisahkan. Terkadang kesempurnaannya membuatku sedikit berkecil hati, orang sering mengatakan bahwa kami sangat mirip, tapi juga sangat berbeda hahaha. Tidak menjadi masalah buatku, kakakku bisa menerima semua pujian itu, dan aku sudah terbiasa dengan pandangan heran atau bahkan kasihan dari orang lain. Itu tidak merubah kedekatan kami, tidak ada rasa iri dalam hatiku, hanya ada rasa kagum dan bangga bahwa dia yang hebat adalah kakakku.

------------

Halo readers. Ini novel pertama yang berani aku share. Please please please kasih kesempatan.

Komen, vote, share akan sangat berharga. Masukan, kritik dan saran sangat diterima.
happy reading 💕

Beautiful CurveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang