-38-

2.2K 246 6
                                    

"Cewek??" Mereka taruhan buat dapetin hadiah cewek? Maksudnya apa? "Nggak cukup satu cewek kalian buat permainan, tapi dua?" Aku mengucapkan kalimat itu dengan pelan, tapi terasa begitu tajam.

"Tapi aku nggak terima hadiahnya. Aku nggak mau. Sumpah!" Davin mengacungkan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya, bersumpah. "It was just a silly game. Hanya permainan bodoh ide Leo. Kami masih muda, kami kekanak-kanakan, kami membuat kesalahan. Aku menyesalinya setelah aku lebih kenal sama kamu. Kamu nggak layak dijadiin mainan, karna itulah aku tolak hadiahnya." Davin mencoba memberi penjelasan. Nada suaranya terdengar desperate.

Aku hanya terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Davin melanjutkan kalimatnya, "Aku tahu suatu hari ini bakal jadi masalah. Tapi aku g pernah punya keberanian buat kasih tau kamu. Aku nggak mau kamu pergi. Tolong maafin aku, sekali ini aja..."

Batinku berperang. Otak dan hatiku tidak sependapat. "Its okay Davin, I trust you" itu yang kukatakan padanya, saat hatiku berkata its not okay.

"Im fine with it, ini cuma masa lalu." Its hurt, im not fine at all.

"Aku paham kalo waktu itu pikiran kalian masih kekanak-kanakan." Kamu udah dewasa, udah cukup umur, udah bisa bedain mana yang benar dan salah. Seharusnya kamu nolak ide Leo.

"Aku percaya kamu.." Apa benar aku percaya kamu?

"At least sekarang hubungan kita bukan permainan." Bukan kan Davin? Kalian tidak sedang bertaruh lagi untuk menjadi pacarku kan?

Davin menghembuskan nafas keras. Dia memejamkan mata, dan membenturkan kepalanya beberapa kali ke kendali kemudi pelan. "Bisa nggak kamu berhenti bilang ini semua nggak papa?" Davin menatapku dengan mata yang sedih. "Please.. Kamu marah aja sama aku, mengumpatlah, pukul aku, menangis, keluarkan semuanya. Itu lebih baik daripada kamu pura-pura kaya gini." Pinta Davin dengan lembut. Aku bisa mendengar suara yang penuh dengan luka keliar dari mulutnya. Jika kami terluka karena ini Davin, apa kamu bisa bayangkan betapa terlukanya aku?

"No Davin. Aku serius, aku maafin kamu." Aku menghapus sisa sisa air mataku dipipi yang telah mengering, dan memberinya senyuman kecil yang kuharap bisa membuatnya percaya. Siapa yang kubohongi? Davin atau diriku sendiri? "Kalo kamu pingin banget dipukul, ayo sparring lagi. Lama kita nggak sparring." Aku mencoba mengalihkan topik.

Davin lagi-lagi menghembuskan nafas dengan keras. Seakan dia bisa membuang semua rasa lelahnya jika dia melakukan itu. "Aku tahu kamu terluka. Aneh kalo kamu nggak. Aku cuma mau bilang, the day I saw you cry my intention changed completely. Aku pingin peluk kamu, pingin jagain kamu, jadi tameng kamu dari orang-orang yang bakal nyakitin kamu." Ucap Davin pelan. Tangan Davin meraih pipiku dengan ragu-ragu, dia menangkupkan tangannya dikedua sisi wajahku. "Saat kita dateng ke promnite bareng, itu sudah bukan game buatku. Aku tulus, dan kalo aku perlu buktiin lagi perasaanku sama kamu, aku bakal buktiin terus gak peduli berapa kalipun itu, sampe kamu percaya. Oke?" Belaian lembut yang diberikannya diwajahku terasa begitu nyaman.

Dengan yakin akhirnya aku membalas kalimat panjangnya dengan singkat. "Aku percaya." Aku tersenyum sebelum melanjutkan, "Tapi maaf, jawabanku buat pertunangan kita, No. Aku belum bisa.." aku menggelengkan kepalaku lemah. Menolak ajakan bertunangan dari orang yang kamu sayang ternyata juga menyakitkan. Aku tidak tahu lagi rasa sakit yang kurasakan ini datangnya dari mana. Begitu banyak masalah yang menimpaku akhir-akhir ini. Tuhan benar-benar mengujiku.

"I know.. Aku paham.." Davin mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Yang perlu kamu tahu, keputusan ini aku ambil bukan hanya karna masa lalu itu. Tapi hari ini bikin aku sadar, kalo banyak hal yang aku belum tahu tentang kamu, tentang kehidupan kamu, sahabat kamu, keluarga kamu. Begitu pula sebaliknya. Kita belum saling mengenal satu sama lain Vin. We need more time." Jelasku padanya yang masih menatapku tanpa mengalihkan pandangan.

Beautiful CurveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang