03

156 32 9
                                    

Nindy

"Tentang kuliah kamu, Ndy."

Tama menannyakan hal yang sudah aku wanti-wanti sebelumnya, hal yang aku tidak siap untuk menjawabnya.

"Ada yang kamu sembunyiin tentang kamu bakal kuliah di mana kan?" Aku hanya bisa terdiam, bahkan menatap matanya pun aku tidak bisa.

"Kok diem, hei hei jawab aja. Gakpapa, kenapa? Kamu beneran keterima di Surabaya? Atau di Malang?" Aku memberanikan diri untuk mendongak, menatap matanya seolah menyalurkan hal berat yang ingin aku sampaikan.

"Lebih buruk dari itu Tam, kita bahkan kehalang sama bentangan laut dan perbedaan waktu." Tama diam, seolah dia sangat sulit mencerna kata yang terlontar dari mulutku.

"Maksud kamu, kamu ngambil kuliah ke luar Ndy? Dimana?"

"Brooklyn, Tam." Lagi, Tama hanya diam. Matanya yang semula menatapku kini beralih menatap sekitar, mencari cara untuk mendapat kembali fokusnya.

"Kapan kamu berangkat?"

"Dua hari lagi." Dengan secepat kilat dia langsung menoleh ke arahku sambil memegang pundakku.

"Kamu berangkat dua hari lagi dan kamu gak bilang apapun sejak lama sama aku Ndy? Kamu anggep aku cowok kamu enggak? Hal kayak gini dalam hubungan kita itu permasalahan besar. Kenapa sejak awal kamu gak bilang sama aku? Bahkan kamu ambil perkuliahan di luar aja aku gak tau."

Aku menarik nafasku, kata-kata sanggahan yang sudah aku persiapkan jika hal ini terjadi serasa menguap, bercampur dengan partikel-partikel lainnya di dalam udara.

"Maaf Tam... Maaf."

Tama mengusap wajahnya, membenarkan rambutnya. Lalu mengacak-acak rambutnya, dia terlihat frustasi. Seberat itu kah? Atau semenyakitkan itu kah untuknya?

"Alasan kamu gak bilang ke aku apa Ndy? Aku perlu tau itu."

Aku menahan air mata, segala rasa takut dan menyalahkan diri sendiri seolah mencakar hatiku lalu cakaran itu semakin terbuka dan menimbulkan rasa sakit tak terhingga.

"Aku takut kamu gak dukung pilihan aku Tam, aku juga gak mau kalau aku bilang lebih awal sama kamu. Kamu bakal ninggalin aku karena kamu bakal mikir kalau kamu gak bisa jalanin hubungan jarak jauh."

Tama menoleh ke arahku, dan wajahnya yang memerah karena menahan amarah tidak dia pedulikan. Emosinya yang masih memuncak dia abaikan. Yang dia lakukan kini merengkuhku kedalam hangatnya pelukan.

"Kalau kamu sejak awal bilang pun aku gak mungkin ngelarang kamu Ndy, aku juga gak ada hak ngelarang kamu buat ngejar mimpi kamu. Sekalinya aku tau pun aku tetep bakal ngelanjutin hubungan sama kamu. Karena aku gak bakal berhenti di tengah jalan sebelum aku bener-bener nyoba ngejalaninnya sama kamu."

Dan benar, setelah kalimat panjang itu keluar dari mulutnya aku menangis, meskipun tidak terisak kencang namun air mataku tidak henti mengalir.

"Maaf Tama, keputusan sebesar ini aku gak libatin kamu. Aku gak cerita sama kamu juga."

Tama mengusap rambutku, membersihkan air mataku. Lalu menggenggam tanganku.

"It's okay. Aku tau kok Ndy, kamu juga kesel sama aku akhir-akhir ini. Karena aku lebih sering ngabaiin kamu. Meskipun kita tetep ketemu. Meskipun tiap harinya aku selalu ingetin kamu makan dan jangan tidur kemaleman. Tapi aku tau, bukan itu perhatian yang kamu pengen."

"Aku juga tau kamu kesel karena aku selalu menekankan seolah-olah di sini yang seharusnya bersyukur itu kamu. Padahal sebaliknya, yang harusnya bersyukur hubungan ini ada itu aku Ndy." Lanjut Tama, dengan mata yang menenangkanku meskipun di sana aku melihat jika dia berkedip akan menjatuhkan satu bulir air mata.

FirmamentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang