24

69 10 8
                                    

Nindy menghembuskan nafas berkali-kali saat sudah memasuki mobil Gama.

"Kenapa?"

Nindy masih terdiam, dia masih terus berusaha mengenyahkan beberpa pikiran yang melintas di otaknya sperti gulungan roll film yang siap putar.

"Kenapa hmm?"

"Gak tau Gam, gue kira gue udah mampu. Gue udah sanggup, nyatanya pas gue lihat dia. Hati gue masih aja sakit Gam."

Gama diam, menunggu Nindy melanjutkan ceritanya. Cerita tentang apa yang sedang ia rasakan.

"Tadi pas gue lihat dia, gue pengen banget meluk dia sambil cerita panjang lebar ke dia kayak dulu..."

"Tapi setelahnya gue lihat udah ada orang lain di sebelahnya yang lebih butuhin dia, lebih bisa leluasa cerita panjang lebar tentang kesehariannya sama dia, yang sekarang emang lebih berhak dari pada gue Gam."

Dan entah kebutulan atau memang saat ini hak untuk Nindy menangis, lagu pada radio Gama berputar lagu All I Want.

Nindy menangis, hanya dua kali air matanya terjatuh lalu ia hapus.

"Maaf Gam, nyatanya gue gak sekuat itu. Gue masih sakit lihat dia, dan gue masih kangen sama dia."

Gama memberhentikan mobilnya saat lampu merah, lalu mengusap kepala Nindy pelan.

"Gue gak tau apa yang lo rasain Ndy, yang gue tau emang itu sakit. Move on emang gak gampang, apalagi sama orang yang udah lama sama kita, orang yang udah kita sayangin begitu lama."

Nindy mengepalkan tangannya membuat kuku-kukunya memutih karena menahan tangis. Gama membukanya, mengudarnya satu persatu.

"Kalau mau nangis, nangis aja. Gakpapa, ini pertama kalinya lo ketemu lagi sama orang yang lo sayang, yang saat itu belum saatnya lo lepas."

"Gue gak mau nangis karena hal bodo Gam, gue gak mau lemah."

"Ndy, ini bukan tentang bodoh atau enggak, lemah atau kuat. Yang lagi berkuasa di sini hati lo. Kenangan lo, lo bentuk kenangan dan perasaan bukan pakek perasaan lemah kan? Bukan juga karena kebodohan kan? Karena lo suka, karena lo sanggup kan? Jadi nangis aja, kalau lo sanggup nyiptain kenangan berarti lo juga harus sanggup nyiptain kepergian."

Setelah Gama berbicara kalimat itu, lampu hijau menyala dan jalanan mulai sedikit lenggang. Membuat Gama kembali lagi fokus pada jalanan, membiarkan Nindy yang pada akhirnya menangis tanpa kata dan tanpa suara.

"Jangan ditahan, entar sesek Ndy. Nangis aja yang keras, gak bakal gue ejek kok."

Nindy menggeleng pelan, ia tidak mau semenyedihkan itu di hadapan Gama. Pada akhirnya Gama terdiam bermaksud membiarkan Nindy menangis dengan caranya sendiri.

Mereka sampai pada halaman rumah Gama. Namun baik Nindy atau Gama tidak ada yang turun dari mobil.

"Kok lo gak turun Gam?"

"Terus ninggalin lo yang lagi jelek kayak gini, sampek rumah di tanyain nyokap kalau gue turun dulu, terus abis itu gak lama lo juga turun sambil mata sembab gini? Yang ada gue di gampol sama nyokap Ndy."

Nindy tersenyum kecil, menghapus air matanya dengan tisu. Lalu mensrik nafas dalam.

"Ayo turun Gam."

"Entar kalau lo di tanyain nyokap, mau jawab apa Ndy?"

"Di cubit lo." Setelahnya Nindy turun membiarkan Gama meneriaki namanya.

***

Berbeda hal yang terjadi pada Tama dan Ninda. Mereka berdua saling diam, tak ada yang membuka suara. Selama perjalanan hingga akhirnya Ninda meminta untuk mampir pada minimarket dekat kosannya, mereka masih saling diam.

Ninda keluar dari minimarket dengan membawa melon dalam sterofoam, dan dua kaleng coffee. Ninda hanya menaruh tengah buah melon yang ia beli di antara meja yang menghalangi mereka berdua.

Tama tidak menoleh sama sekali pada Ninda, ia lebih fokus pada jalanan. Dan ia baru menoleh saat benda dingin menyentuh kulitnya.

"Di minum dulu." Akhirnya Ninda berujar. Namun sudah, hanya itu kata yang mampu Ninda ucapkan.

Tama mengambil nescafe yang sudah Ninda bukakan, lalu menikmatinya sambil tetap tidak mengalihkan pandangannya dari jalanan.

Mereka masih saling diam hingga 15 menit lamanya. Membuat Ninda jengah tidak berbicara sedikit pun.

"Tam, kenapa?"

"Kenapa apanya?" Tama balik bertanya sambil mengerutkan kening.

"Aku tanya ke kamu, kenapa kamu malah balik tanya."

"Ya kan aku jawab itu, aku tanya dulu kenapa dalam artian apa?"

"Abis kita ketemu Nindy kamu jadi diem, kenapa?"

"Perasaan kamu aja kali Nda."

"Tam, aku serius. Kamu kenapa?"

"Aku gakpapa Nda."

"Ya udah deh terserah kamu."

Ninda melanjutkan kembali makannya, membiarkan Tama menatapnya.

"Marah ya?"

Ninda diam tak menjawab.

"Aku gakpapa Nda, cuman males ngomong aja."

"Ada alasan lain Tam."

Tama menghembuskan nafasnya.

"Ya gimana ya, aku sahabat dia. Dia kesini gak kasih tau aku. Abis itu kita ketemu dia, dia bawa cowok, mana tidur di rumah cowok tadi. Baru ketemu bentar mau di ajak lanjut kongkow dia gak bisa soalnya nemenin cowok tadi."

Seluruh cerita benar, hanya bagaimana Tama menyampaikan pada Ninda berbeda dengan mengatakan bahwa Nindy adalah sahabatnya.

Berusaha membuat Ninda tidak curiga dengan reaksi yang Tama berikan atas kekesalannya yang sejatinya di namakan cemburu.

"Kenapa?"

"Kenapa apanya Nda?"

"Kamu sekesel itu?"

"Ya gimana ya, kita udah temenan lama, terus bahkan dia dateng kesini gak ngabarin aku."

Ninda diam sejenak, menyesap minumannya sebelum menyadarkan punggunya pada kursi.

"Sadar gak sih sejujurnya kamu agak berlebihan Tama, bukannya Nindy malah bener ya? Dia sadar kalau kamu udah beda sama dulu, kamu udah punya pasangan. Mungkin alasan lainnya dia mau jaga sikap, jaga jarak sama kamu."

"Aku berlebihan dari unsur mananya Nda? Aku sama dia udah jarang ketemu, bahkan hampir gak pernah di saat dulu kita aja deket banget, ya aku paham dia mau jaga perasaan kamu takut kamu cemburu atau gimana. Cuman yang jadi permasalahan aku, segitu gak pentingnya ya aku di mata Nindy sampek dia kesini aja tanpa kabar, dia gak pernah bales chat aku. Jadi aku harus gimana? Salah kalau aku khawatir?"

Ninda terdiam, pikirannya sibuk mencari hal yang memang benar apa yang baru saja di katakan Tama, mencari segala jenis alasan mengapa dia bisa percaya dengan ucapan Tama.

"Oke maaf sebelumnya aku gak bisa ngertiin alasan kamu. Aku gak tau kalau di cuekin sahabat bakalan bikin sekepikiran itu Tam."

Pada akhirnya, Ninda lah yang mengalah, meminta maaf atas hal yang memang sepatutnya seorang wanita khawatirkan dari lelakinya.

"Udah gak usah di bahas. Toh yang penting aku ketemu dia, kita sama-sama ketemu setelah sekian lama. Kamu udah belum makannya? Balik ayo, mau ujan ini."

Ninda hanya mengangguk, sekedar mengatakan 'iya' sangat malas ia lakukan saat ini. Maka ia memilih diam, mengikuti segala ucapan Tama yang jelasnya menjadi hal yang wajib di lakukan.

.
.
.

Gue unpub aja kali ya wp ini? Soalnya gue lupa alur cerita ini 😭

FirmamentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang