Nindy
Pola hidup disini, gaya hidup dan suasanannya sungguh sangat berbeda dengan suasana di rumah. Sering kali aku sudah tidak tahan dan ingin pulang, namun Tama selalu menguatkan dan menyemangatiku untuk terus bertahan.
Hubunganku dengan Tama masih dapat di katakan baik-baik saja. Meskipun hampir 1 bulan aku dan Tama menjalin hubungan jarak jauh, tapi baik aku dan dia tidak menuntut suatu hal melebihi yang ada. Aku tidak menuntut dia selalu menjawab pesanku atau telponku. Dia juga sebaliknya.
Karena kami sangat tau bagaiamana kesibukan kami masing-masing, belum lagi perbedaan waktu menjadi pengahalang untuk kita terus berkomunikasi. Aku juga di sini mengambil kerja part time di cafe yang biasa aku kunjungi. Hanya untuk mencari uang sebagai kebutuhan hidup disini. Aku tidak menceritakannya kepada Tama, selain aku tidak ingin dia melarang karena takut aku kelelahan. Dan setelah dia tau pun, aku tidak mau dia menyuruhku berhenti lalu setiap bulannya dia mengirimiku uang. Begitu sifat Tama yang sudah sangat aku pahami.
Aku melamunkan beberapa hal, apa yang sedang di lakukan oleh ibuku? Apa ayahku bekerja sangat keras untuk memenuhi kebutuhanku? Dan sedang apa dia, yang setiap harinya aku rindukan. Setiap malamnya ku pandangi potretnya. Hingga lamunanku buyar di saat Gama duduk di sebelahku.
"Ngelamunin apa sih Nin?" Aku menoleh ke arah Gama, dia berasal dari Indonesia juga, dan secara kebetulan dia berasal dari Jogja.
"Ngelamunin ibu sama ayah. Kangen."
"Gue juga kangen sama bokap nyokap gue. Kira-kira mereka ngapain ya?" Dia bertanya pada dirinya sendiri sambil melihat sekumpulan burung yang terbang sore ini.
"Gue ngerasa gak betah di sini Gam."
"Kenapa? Dosen lo ngasih pr lo banyak lagi? Atau ada praktek pembedahan?"
"Belum sampek praktek pembedahan lah, cuman gue di suruh hafalin saraf-saraf yang bahasanya latin."
"Ya gue cuman bisa ngasih lo semangat sih, kan udah keputusan lo ngambil bidang kedokteran."
Aku menghela nafas panjang, jika ada Tama disini mungkin dia akan menenangkanku dengan seribu cara yang dia punya, bahkan mungkin dia akan rela melakukan handstand sambil tersenyum bodoh.
"Emang kuliah lo gak berat? Kok gue rasa lo santai-santai aja." Gama menoleh ke arahku dengan pandangan tidak terima.
"Heh ngarang aja. Gue kalau nugas emang gak pernah pas sore gini. Palingan malem. Gue gak mau lah jadi babu tugas. Harus menikmati dulu dong di negeri orang." Aku tersenyum simpul mendengar penuturannya.
Aku sedikit iri dengannya, dia dapat bebas menikmati kehidupan sesuai keingannya sesuai apa yang telah ada di benaknya. Tidak sepertiku yang mengikuti kehidupan dengan terstruktur. Dengan pola yang sama setiap harinya. Sedikit bosan dengan kehidupanku sendiri namun mau bagaiamana lagi, aku juga tidak bisa melebihi batas yang aku mampu saat ini.
"Kan ngelamun lagi, kesurupan setan bule entar lhoo." Aku menepuk pundaknya pelan.
"Ngarang aja."
"Main yuk, nikmatin matahari terbenam."
Wajahku bingung, dia yang sadar hanya menyuruhku untuk berdiri dan berjalan mengikutinya. Kita memutuskan menaiki bus, dan tidak butuh waktu lama. Tempat yang Gama sebutkan sudah di depan mata. Kita berdua turun setelah bus berhenti tepat di tujuan.
"Gimana? Adem gak tempatnya?" Aku masih memperhatikan sekitar di saat Gama mengajakku bicara.
Tempatnya asri, tidak jauh dari jantung kota. Namun juga tidak dapat di katakan sepi. Dia mengajakku ke brooklyn heights.
"Aslinya mau gue ajak ke bridge, cuman sunsetnya belum pas. Entaran aja agak sorean." Aku hanya mengangguk, tidak mendengarkan perkataan Gama. Karena yang aku lakukan saat ini hanya menikmati, selagi aku masih dapat menikmati.
"Ayo keliling." Dia mengajakku berkeliling, aku hanya menuruti. Dia berhenti di sekumpulan orang yang berkerubung menjadi satu, ternyata setelah aku dan Gama mendekat itu pertunjukan pengamen jalanan. Gama menarikku untuk lebih mendekat ke arah pengamen tadi.
"Bagus gak sih Nin mereka nyanyinya?" Aku setuju dengan Gama, pertunjukan yang mereka sajikan cukup menghibur.
"Ayo ke tempat lain." Aku hanya menurut, dia seolah menjadi tour guide dengan mengajakku berkeliling dan menunjukkan apa kehebatan masing-masing tempat ini.
"Lo udah pernah ke sini Gam? Kok rasanya gak asing banget sama di sini."
Gama menoleh ke arahku lalu mengangguk semangat, "Gue pas baru sampek sini langsung nyari destinasi-destinasi yang wajib di kunjungin. Ya udah gitu."
"Sendiri?"
"Iya, karena keindahan gak usah di nikmatin rame-rame atau bareng-bareng, ke indahan kan cuman kita yang bisa ngerasain."
"Tapi lo ngajak gue kesini lhoo."
"Hm, disini kan yang menikmati lo. Gue udah menikmatin tempat ini, jadi giliran lo. Maka dari itu tugas gue disini cuman membantu menemani. Tanpa merusak cara pandang lo untuk menikmati." Aku menoleh ke arah Gama lalu tersenyum simpul.
"Gam, ke kedai es krim itu yuk." Aku yang tidak sadar menarik tangan Gama. Yang untung saja Gama bersikap biasa saja.
"Ini ucapan terima kasih gue buat lo Gam, jadi gue traktir lo." Aku memberikan satu cone es krim rasa green tea untuk Gama, hanya asal memilih sambil otak mengingat bahwa green tea adalah ke sukaan Tama.
"Lo beliin gue rasa green tea?" Aku mengangguk sambil memakan es krim coklat di tanganku.
"Kenapa? Gak suka ya? Atau gue beliin yang lain aja?"
"Enggak, ini malah rasa kesukaan gue." Aku tercenung sebentar, nama mereka hampir mirip lalu kesukaan mereka juga serupa?
"Mirip ya lo, banget."
"Apa?" Dia menoleh ke arah ku dengan raut wajah bingung.
"Gakpapa, gue cuman ngomong doang. Ayo, katanya masih mau ngajak gue ke tempat yang lain."
Gama mengangguk, lalu kita berhenti. Dari satu tempat ke tempat lain. Bahkan Gama berhenti hanya untuk mengejar sekumpulan burung merpati agar terbang tinggi. Di sini aku tau maksud Gama, apa itu cara menikmati hidup. Tidak perlu kita bersama orang lain bahkan orang yang kita sayang, kita sudah dapat menikmati hidup karena itu timbul dari diri kita sendiri.
Namun, jika bisa memang akan lebih lengkap jika kita datang bersama orang yang kita sayang, hanya untuk sekedar berbagi rasa.
"Ayo, waktunya udah pas nih."
Gama menyuruhku mengikutinya, kita duduk di halte bus sebentar, hingga bus yang akan kita tumpangi menunjukkan sinar lampunya.
Sesuai perkataan Gama, dia mengajakku ke brooklyn bridge. Hanya untuk menikmati yang kebanyakan orang berkata sunset. Kami berdiri di antara banyak orang yang juga datang menyaksikan indahnya mentari terbenam.
"Bagus ya." Aku hanya mengangguk menjawab penuturan Gama.
Karena aku masih fokus kepada langit berwarna merah ke ungu-unguan. Senja memang tau bagaimana mengucapkan selamat tinggal dengan menunjukkan keindahan, bahkan di saat kita masih menikmati dan tau bahwa selanjutnya kita di tinggal pergi.
"Makasih Gam."
Gama tidak menoleh ke arahku, matanya sama dengan arah pandangku saat ini, mentari.
"Buat trip-nya kali ini, dan terpenting makasih udah ngajarin gue buat nikmatin kehidupan di setiap detiknya."
Gama menoleh ke arahku, lalu tanpa aku duga dia mengusak rambutku pelan.
"Sama-sama Nindy."
Dan akhir sore yang akan tergantikan dengan pekat malam kita habiskan untuk sekedar bertukar untaian kalimat yang sejatinya selalu kita lamunkan.
.
.
.TAUK DEH :)

KAMU SEDANG MEMBACA
Firmament
General FictionBertahan dengan yang sudah ada, atau pergi mencari hal baru yang menurutnya lebih membuat bahagia? Cover photo Lai Guanlin by mandarin orange Start : 28 November 2018 End : -