17

126 24 5
                                    

Voteee yaaa, sorry baru up. Gue baru menata hati haha.

Gama kembali ke kamar Nindy dengan menenteng tiga kantong plastik berisi makanan dan minuman untuk mereka berdua. Gama menaruhnya begitu saja sesaat setelah Nindy membukakan pintu dengan raut wajah kosong.

"Nindy, kenapa?" Tidak ada sahutan, Nindy tetap terdiam.

"Ndy?" Gama perlu menyenggol tangan Nindy untuk mendapat respon dari Nindy.

"Ehh? Emm? Kenapa Gam?"

"Lo kenapa? Ngelamun gitu? Mikirin Tama ya?" Nindy hanya dapat menghela nafas, tidak menjawab apapun saja Gama sudah mengetahui.

"Mikirinnya entar dulu sambil cerita ke gue, biar gak mikirin sendiri. Sekarang makan aja ya."

"Gue kenyang Gam." Gama berhenti dari aktivitasnya membuka bungkus nasi goreng yang baru ia beli.

"Lo bukan kenyang tapi gak nafsu makan. Yang ada entar lo malah sakit. Jangan jadiin ini sebagai hal yang bakal ngerusak raga lo Ndy. Makan dulu meskipun dikit, ya?"

Nindy akhirnya mengangguk, tidak tega juga sudah membuat Gama membelikan makanan untuknya namun tak ia makan.

Mereka makan dalam diam, meskipun Nindy lebih dulu selesai dengan urusan makannya namun Nindy tetap menemani Gama hingga ia selesai menyantap makanannya.

"Kenapa lagi? Kok gue tinggal tiba-tiba jadi ngelamun? Abis di hubungin sama Tama atau habis kepikiran Tama?"

"Tadi dia telpon gue." Nindy berujar sembari dia sibuk membereskan bungkus nasi goreng, berusaha menghalau agar air matanya tidak jatuh.

"Terus gimana?"

"Ya gue bilang, kalau orang pada umumnya gak bisa memeluk dua kebahagiaan sekaligus, sekalinya dia atau gue masih sama-sama sayang dan dia bahagia sama gue tapi gue tau, hatinya udah bilang bukan gue lagi kebahagiaannya." Nindy menghela nafas, menghirup nafas lagi. Berusaha menahan tangis di hadapan Gama.

"Padahal gue udah janji sama lo Gam kalau hari ini waktu gue ketemu Tama jangan sampek gue nangis. Tapi nyatanya sampek sekarang gue gak bisa nahan tangis gue." Gama berdiam lalu mendekat pada Nindy, merengkuhnya. Menyenderkan dahi Nindy pada bahunya.

"Nangis, untuk hari ini langgar janji lo. Yang penting lo ngerasa tenang. Ini cara tergampang yang bisa lo lakuin buat hadepin masalah. Biar seenggaknya lo sedikit banyak ngerasa lega."

Nindy menangis dengan di temani oleh Gama. Tangisannya semakin lama semakin kencang. Nindy sesenggukan. Yang Gama lakukan hanya mengelus punggung Nindy pelan, sambil membiarkan dia tetap menangis.

"Gam, boleh gue minta satu hal?"

"Apa?"

"Malem ini gue pengen kita pulang ke Brooklyn."

Gama menyerngitkan dahi.

"Lo gak mau balik ke Jakarta?" Nindy pada dekapan Gama menggeleng lemah.

"Gue mau ngelupain dia secepatnya. Semakin gue balik ke Jakarta kenangan sama dia pas gue di sana makin kuat, Gam."

Gama hanya dapat menghela nafas sambil mengelus kepala Nindy.

"Oke kalo itu yang lo mau, gue pesen tiket sekarang."

Gama merogoh sakunya, menghubungi seseorang di sebrang sana. Lalu kembali memasukkan handphonenya kedalam saku celana.

"Lo beresin baju lo, gue tungguin." Gama berjujar sambil membenarkan rambut Nindy yang berantakan karena bersandar pada bahunya.

FirmamentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang