19

107 25 10
                                    

Ini sudah terhitung 4 bulan setelah Tama dan Nindy putus, namun Tama sendiri tidak dapat melupakan Nindy seluruhnya. Berkali-kali ia mencoba, dan pada akhirnya mengalami kegagalan.

Tama membuka kontak Nindy yang seminggu lalu mengaktifkan kembali sosial medianya, profile picture yang kini sudah sangat asing di mata Tama. Karna Tama tidak tau foto itu kapan di ambil, yang jelas foto itu berlatarkan senja dan di ambil pada spot yang terlihat romantis. Hingga setiap saat Tama membukanya akan selalu muncul pemikiran, siapa yang memotret Nindy atau dengan siapa Nindy pergi kesana.

"Tam, di tunggu Ninda tuh di luar kosan."

Suara Akbar menyadarkan Tama dari lamunan yang baru saja dia bayangkan.

"Dia kesini? Kok tumben gak ngabarin dulu."

"Gak tau, mending lo cepet keluar deh. Soalnya dia, nangis." Buru-buru Tama berdiri dan meninggalkan kamarnya menuju teras kosannya.

Disana Ninda menangis dalam diam. Tidak ada suara, hanya air mata dan matanya yang membengkak.

Tama duduk perlahan di samping Ninda, dia membiarkan Ninda menangis terlebih dahulu. Tama hanya terdiam, melihat bagaimana Ninda yang masih menangis, dan bagaimana Ninda berusaha mengatur nafasnya agar tak terisak.

Akbar keluar dengan membawa secangkir teh dan segelas air putih.

"Ninda suruh minum dulu Tam. Gue kedalem."

"Thanks Bar." Akbar hanya mengangguk lalu masuk kembali kedalam kos, namun tetap menjadi pemerhati.

"Nda, ini diminum dulu. Biar gak sesek gitu." Ninda mengusap air matanya, lalu mengambil secangkir teh hangat yang di sajikan oleh Akbar.

Ninda masih menangis, meskipun tidak separah tadi namun air matanya selalu keluar.

"Lo kenapa nangis?"

Ninda masih diam, dia menunduk memperhatikan kakinya.

"Kalau lo gak mau cerita gakpapa kok Nda gue gak maksa."

"Enggak, gue mau. Maka dari itu gue kesini biar gue bisa numpahin rasa sedih gue."

Tama diam, menunggu Ninda bercerita. Namun yang Ninda lakukan hanya melamun.

"Hei Nda. Jangan ngelamun, gue bakal dengerin cerita lo yang bikin lo nangis kayak gini."

Ninda menarik nafas lalu meneguk teh tadi sebelum bercerita.

"Gue emang gak pernah cerita ke lo Tam sebelum ini, tapi gue punya cowok. Dan dia mutusin gue hari ini."

Tama diam, dirinya merasakan hal yang aneh. Jantungnya tiba-tiba bergerak lebih lambat. Tubuhnya memanas, entah karena apa. Apakah faktor suhu di lingukangan atau faktor ucapan Ninda.

"Terus? Kenapa dia bisa mutusin lo? Sebelum ini emang kalian ada masalah?"

Ninda menggeleng "Kita gak pernah ribut, kalau ada masalah salah satu bakal ngalah atau bakal diem sampek masing-masing sadar diri."

"Terus kenapa lo bisa putus?"

"Gue bilang, gue udah gak bisa sama dia." Ninda menarik nafas panjang, berusaha menghembuskannya perlahan.

"Kenapa? Kok lo bilang begitu?"

"Karena gue udah ngerasa kalau dia berubah, hatinya gak lagi buat gue." Dan bersamaan dengan kalimat ini keluar, air mata juga keluar dari mata Ninda.

Tama terdiam, dia tau betul bagaimana posisi Ninda. Karena belum lama ini ia merasakan hal yang sama.

Ninda kembali menangis, cangkir yang ia genggam ia cengkeram kuat. Membuat Tama menyingkirkan cangkir itu dan berjalan mendekat ke arah Ninda untuk memeluknya.

"Lo bisa nangis. Denger Nda, kalau emang itu keputusan cowok lo, satu yang bisa lo lakuin. Nerima. Karena lo tau, semua yang udah terjadi dalam hidup kita ini takdir. Meskipun takdir bisa di ubah, tapi tetep kembali lagi pada rencana Tuhan. Mungkin ini jalan Tuhan buat nuntun lo nemuin hal baru, atau terlepas dari suatu hubungan yang pada dasarnya, pondasinya sedikit banyak terkikis. Sadar atau enggaknya diri lo."

Tama menenangkan Ninda, menepuk bahunya pelan. Mengusap kepalanya pelan.

"Seenggaknya sedikit banyak lo harus bersyukur Nda, lo di jauhin sama dia sekarang, sebelum nanti di kedepan harinya malah buat lo terluka."

Ninda diam, tidak menjawab. Memilih mengeluarkan air matanya hingga membasahi baju yang di kenakan Tama.

"Dan gue minta, gak usah nangisin mantan lo, karena disini sekarang ada gue buat lo."

Tama berujar membuat Ninda sedikit terkejut dengan debaran jantung yang tak patut di katakan saat hubungannya baru saja usai.

***

Nindy

Sekarang aku sedang berada di cafe tempatku bekerja, pelanggan yang beberapa menit lalu sangat ramai karena jam makan siang, sedikit banyak mampu membantuku mengurangi pikiran tentang Tama.

Laki-laki yang empat bulan lalu masih bersamaku, dan empat bulan lalu pula aku memutuskan hubunganku dengannya.

Kira-kira bagaimana keadaanya sekarang, baik-baik sajakah setelah kepergianku atau mungkinkah dia merindukanku sama seperti diriku yang tetap merindukannya? Atau kemungkinan buruk yang bahkan tidak sanggup aku pikirkan, pemikiran mungkinkah dia sudah menggantikan posisi Nindy menjadi posisi yang di tempati Ninda. Memikirkannya saja membuat hatiku menjerit sakit.

Malam setelah kita putus, aku berusaha memblokir semua akses kontak Tama. Bukan aku ingin mengingkari janjiku pada Tama untuk tetap berteman. Namun aku butuh waktu, aku butuh waktu untuk melupakannya. Meskipun tidak berhasil seluruhnya, namun aku sudah sedikit terbiasa akan ketidak hadirannya dalam hidupku.

Mungkinkah setelah kita putus dia masih berusaha menghubungiku, atau mungkinkah dia menyerah setelah hubungan kita usai.

Aku bersyukur dan berterima kasih pada Gama, dia yang membantuku di sini. Membantuku untuk bangkit dan berjuang tanpa kehadiran Tama dengan status kekasih.

Dan saat pikiranku memikirkan Gama, dia masuk kedalam cafe dengan senyum ceria miliknya yang di ikuti matanya yang melengkung. Tampan dan lucu, itu yang terlintas di otakku setiap kali aku melihatnya tersenyum.

"Udah makan siang belum? Makan sama gue ayo." Aku mengangguk lalu mengikutinya duduk di bangku dekat jendela.

Dia membukakanku makanan yang dia bawa. Selama disini, kita saling mengurus satu sama lain. Terkadang aku membawakan dia makan ke kampusnya jika dia ada kelas, aku yang merawatnya saat dia sakit. Dan dia yang merawatku saat aku sakit setelah berakhirnya hubunganku dengan Tama.

"Gimana setelah lo buka akun sosial media lo lagi Ndy? Dia ngehubungin lo?"

"Enggak, tapi gue yang masih sering buka kontak dia. Gue selalu senyum setiap kontaknya selalu online, ya meksipun gue tau dia gak mungkin juga ngehubungin gue."

"Ndy, lo sendiri yang bilang putus hubungan gak harus putus pertemanan. Kalau lo kangen dia kenapa gak bilang? Kangen itu hal lumrah Ndy, apalagi kalian udah sama-sama selama 4 tahun. Gak mungkin rasa rindu itu gak ada."

Nindy meneguk minumannya sebelum menjawab ucapan Gama.

"Gue tau Gam, tapi gue belum siap. Butuh waktu lama buat hati gue seenggaknya merasa biasa aja tentang Tama. Kalau gue siap gue bakal ngehubungin dia kok Gam, tapi gak sekarang."

"Ya udah, terserah keputusan lo aja Ndy. Gue cuman bisa dukung. Dan tolong jangan terlalu mikirin kehilangan dia, karena disini masih ada gue buat lo."

Aku memelankan kunyahanku sambil menatap mata Gama yang menatapku dalam. Dan saat ini, detik ini jantungku seolah merasakan hal yang sama, saat pertama kali Tama mengajakku berkencan. Berdebar.

.
.
.

WAYOLOO ADA APA GERANGAN, APAKAH TAMA DAN NINDY DAPAT KEMBALI BERSATU?!!

FirmamentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang