Sudah lama aku merasa hal ini akan terjadi. Sejak Dava mengubur tubuhnya sendiri dalam pasir pantai. Kedua matanya terbuka menatap langit seraya berkata bahwa kedamaian abadi hanya bisa didapat jika seseorang telah mati.
Bertahun-tahun kami menyembunyikan segalanya. Perasaan dan bahkan diri kami sendiri. Kami selalu berada di balik bayang-bayang. Manakala bayang itu tersibak dan kami menunjukkan diri. Seketika cacian dan hinaan menghujani kami. Kemudian Lari. Pergi.
"Tak boleh ada perbuatan tercela yang dilakukan di sini. Kalian hina!"
Selebihnya kembali lari, pergi, sembunyi lagi.Aku ingat pertemuan pertamaku dengan Dava adalah saat aku duduk sendirian menatap kemilau air yang terpapar sinar matahari di atas jembatan di pinggir perbatasan. Tiba-tiba saja dia duduk di sisiku.
"Rokok?" tawarnya.
Aku menggeleng, "Apa aku terlihat seperti jalang yang suka merokok?"
"Tidak. Tidak. Aku hanya... yah... menawari... dan barangkali... uh semua orang merokok. Kau tahu? Lelaki, perempuan, anak-anak. Tidak merokok adalah hal yang aneh saat ini."
Aku tertawa.
Dan sekarang kanker paru-paru dalam tubuhnya. Seakan segalanya berakhir esok hari. Dava tidur di pangkuanku dan terus merintih. Tapi tak ada yang bisa kami lakukan. Bahkan untuk memeriksakan sakitnya itu pun kami harus mencuri di warung-warung.
Apalah daya kami yang bahkan untuk berada di antara orang-orang pun setengah mati sulitnya. Hidup kami adalah pelarian tak berujung dari tatapan orang-orang. Kami hina. Jauh lebih hina dari manusia hina manapun. Karena orang pikir kami binatang.
Masih teringat olehku kata-kata Dava di atas jembatan, "Rasanya seperti segala lara terhembus keluar saat aku merokok. Terbawa bersama asap dan melebur di udara. Orang-orang yang meludahiku akan menghirupnya. Dan akan terus kulakukan karena lara ini tak ada habisnya."
Kini dia di pangkuanku, terbatuk dan menggigil, "Kaulah pelipur yang sebenarnya. Aku bahagia. Aku sudah berusaha berhenti."
"Tenanglah. Kau melakukan hal yang benar walau terlambat."
"Sejak awal kita sudah terlambat."
Air mataku meleleh."Hiduplah dengan normal dan lupakan aku. Menikahlah dengan seseorang lain yang mungkin kau suka. Kau berhak untuk itu."
Penyesalan, pilu, letih, serta cintanya padaku terhembus bersama napas terakhirnya, menyatu dengan semesta.
Masa berganti masa kulewati jauh setelah aku dan Dava yang sekarat di pangkuanku berteduh di area tempat pembuangan sampah akhir. Aku tak bisa berharap tempat yang lebih layak untuk mengantarkan akhir hidup Dava karena pada akhirnya kami memanglah sampah yang terbuang.
Kini aku bekerja di kantor swasta. Pulang dengan menaiki mobil, memandang kemacetan dan menyadari betapa waktu telah membolak-balikkan segalanya. Rasanya menyenangkan menjadi normal walau terkadang kerikil-kerikil tajam masih terasa dalam setiap langkah hidupku yang baru. Tapi aku berharap di atas sana Dava dapat merasakannya juga.
Aku membuka pintu rumahku. Anak laki-laki bernama Dava menyambutku. Dia turun dari sofa di depan televisi dan berlari memelukku dengan gembira.
"Ayah!!!" teriaknya.