Terima kasih untuk Banda Neira atas lagu Sampai Jadi Debu.
Pada penghujung tahun, sekitar pukul enam pagi, aku memandang keluar dan mendapati daun-daun pohon kelengkeng yang berserakan di halaman setelah dilanda hujan deras semalam. Dingin menyusup ke setiap sendi, menyisakan firasat akan sepi dan kehilangan.
Aku berdiri di ambang pintu menanti.
Mobil sedan hitam melaju dengan kecepatan rendah dari arah kelokan di ujung jalan lalu berhenti tepat di depan. Lelaki dengan pakaian rapi dan bersepatu keluar dari mobil itu sembari tersenyum cerah kepadaku dan melambaikan sebelah tangannya. Dia lantas menuju ke sisi lain mobil dan membuka pintunya. Kulihat seorang perempuan berambut sebahu dan memakai rok. Mereka berdua berjalan beringin menghampiriku.
Aku mempersilakan mereka duduk dan menjamu mereka dengan teh hangat. Sudah kutawarkan sarapan karena memang telah ku sediakan nasi, sayur, dan lauk istimewa khusus untuk hari ini tapi katanya ada sesuatu penting yang hendak disampaikan.
Pertama, lelaki itu menanyakan kabarku dan orang-orang rumah. Aku menjawab seadanya. Bahwa aku dan yang lain masih mengerjakan apa-apa yang biasa kami kerjakan tak ada yang berubah. Kami dan segala hal monoton yang bagaimanapun akan tetap dia, lelaki itu, rindukan. Sampai kapanpun.
Aroma teh sekaligus kehangatannya menyelimuti ruang tamu kecil yang kupunya ini. Dingin masih sekelebat menghampiri dan menyisakan firasat akan sepi dan kehilangan.
Selanjutnya lelaki itu mulai memperkenalkan perempuan yang dibawanya. Dia berumur lebih muda... Entah apa berikutnya, mendadak suaranya menjadi samar-samar. Tapi aku telah memahami kemana arah pembicaraan ini yang sebenarnya.
Bahwa yang harus kulakukan setelah ini adalah merelakan.
Aku lantas tersenyum. Kusadari dunia di sekelilingku melambat. Seolah berhenti pada suatu momen di sini, di rumah kami dan pada detik ini.
Kupandangi wajah lelaki di hadapanku dengan penuh perasaan. Jauh di dalam matanya kutemukan sosok yang sama seperti dua puluh delapan tahun yang lalu.
Kupejamkan mataku sejenak. Kubiarkan diriku larut dalam kenangan.
Seandainya pun waktu bisa diputar agar aku dapat lebih lama bersamanya dan memperbaiki segalanya demi dia tapi apabila sudah masanya, akan tiba juga. Apa gunanya berat hati. Aku mungkin tak dapat menyertainya hingga akhir.
Tapi ketahuilah.
Dua puluh delapan tahun yang lalu. Kali pertama aku memandikannya dengan air hangat dan kasih sayang, tanganku gemetar. Merasakan betapa rapuhnya dia. Tak ada rasa aman baginya selain dalam dekapanku. Akulah satu-satunya tempat dia untuk bergantung saat itu.
Setiap kali aku mendekatkan wajahku, dia dengan tangan mungilnya berusaha menggapai dan selalu saat itu aku tersadarkan, bahwa aku telah mengantarkan kehidupan baru ke dunia
Setiap sakitku yang menyertai dan mengantarkannya menjadi dewasa, selalu bahagia dan merasa cukup. Satu harapku tak pernah sia-sia untuk seterusnya.
Aku kembali membuka mataku. Atas pernyataan penuh kesungguhan yang baru saja dia sampaikan yang mungkin tak kudengarkan namun telah lebih dulu kupahami, aku memberanikan diri untuk menjawab...