14. Hal Yang Tak Bisa Dijelaskan

11K 1K 20
                                    

Banyak hal yang tidak perlu dijelaskan ke orang-orang. Cukup kita saja yang tahu. Yang lain jangan.

Setelah Xeryn meninggalkan area parkiran, ketegangan di tempat itu tidak menghilang, melainkan semakin menguar. Tatapan Sean kini tak lepas dari Daniel yang hanya menghela napas pelan.

Xeryn benar-benar membuat sahabat-sahabatnya berpikir macam-macam. Namun, seperti apa yang adiknya katakan tadi, hubungan mereka tidak ada kaitannya dengan sahabat-sahabatnya itu. Walau memang tidak seharusnya ia menyembunyikan kebenaran ini, tapi tetap saja setiap orang butuh privasi, bukan?

"Kita perlu bicara."

Tiga kata yang Sean katakan bagai alarm bagi Daniel. Bukan karena ia takut pada Sean atau bukan karena Sean adalah orang paling berkuasa. Melainkan ia tidak mau apa yang nantinya akan terjadi malah membuat persahabatan mereka hancur.

Sejak kecil mereka sudah bersama, susah senang mereka lewati bersama, saling menguatkan dan saling melindungi. Ia tidak ingin persahabatan ini hancur hanya karena sebuah kesalahpahaman. Namun, Daniel juga tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Ini bukan hanya tentang dirinya, ini juga ada kaitannya dengan Xeryn. Daniel jelas tidak ingin mengambil risiko yang akan membuat Xeryn kembali menjauhinya. Dia baru saja merasakan bagaimana bahagianya menjadi seorang kakak. Dia baru dalam proses pendekatan dengan adik tirinya itu. Dia juga baru saja diterima dalam hidup Xeryn. Ini adalah kesempatan untuknya memasuki kehidupan gadis itu lebih dalam setelah sekian lama Daniel menunggu.

Tapi, harga untuk semua itu tidak murah. Di sini, ia harus membuat keputusan. Mengatakan semuanya kepada sahabat-sahabatnya dan kemudian Xeryn akan menjauhinya atau memilih tetap diam tapi kemungkinan besar ia akan dijauhi oleh sahabat-sahabatnya.

Memang mereka sudah saling mengenal sedari kecil, keempat sahabatnya ini tahu jika dia memiliki seorang ibu tiri dan adik tiri berjenis kelamin perempuan. Mereka juga sering main ke rumahnya. Namun yang mereka tidak tahu adalah siapa adiknya itu, bagaimana rupa dari adik tiri Xeryn. Karena selama ini, Xeryn hanya akan mengurung diri di kamarnya atau akan keluar dan tidak akan pulang dalam waktu cepat. Terlebih saat itu Xeryn masihlah Xeryn yang tertutup dan sangat membencinya. Interaksi mereka mendekati 0%. Maka bukan hal yang aneh jika mereka tidak tahu Xeryn adalah adik tirinya Daniel.

"Lo mau ngejelasin atau nggak?"

Dia Sean, dan memang seperti inilah Sean. Langsung kepada intinya, Daniel sudah tahu itu. Saat ini mereka berada di gedung kosong tak terpakai yang berada tak jauh dari sekolah mereka.

"Sean, gue..."

"Ya atau tidak, itu pilihan lo." Tatapan Sean sangat tajam, sebagai sahabat ia merasa dikhianati.

Mereka adalah sahabat. Saling kenal bukan hanya satu atau dua tahun. Namun mengapa masih ada yang harus dirahasiakan disini? Apa persahabatan mereka ini tidak cukup untuk saling percaya? Apa Daniel tidak percaya kepada mereka sehingga pria itu memutuskan untul merahasiakan hubungannya dengan si murid baru itu? Apa coba spesialnya gadis itu sehingga membuat Daniel lebih memilihnya dibanding mereka yang sudah menjadi sahabatnya sejak kecil?

"Lo nggak boleh egois, Sean." Daniel menatap pria dihadapnnya ini tanpa emosi. Nada suara Daniel pun datar tapi dengan volume yang wajar.

"Shit! Lo gila Niel?" Leo berseru dengan intonasi nada yang meninggi. Zoey menepuk Leo agar pria itu tidak terbawa emosi.

Sean tetap masih dengan wajah datarnya, walau nyatanya mata pria itu semakin tajam.
"Coba deh lo pikir lagi, siapa yang egois di sini?" Pria itu tersenyum kecut sebelum kembali melanjutkan ucapannya.
"Gue sekarang harus mikir lagi, barang kali di sini hanya gue yang anggap kalau kita ini adalah sahabat. Tapi kenyataan kalau di sini masih ada yang nggak saling percaya membuat pemikiran gue itu hilang seketika."

Daniel terdiam, begitu juga Leo, Zoey dan Juna. Ucapan Sean benar-benar menampar mereka, terlebih Daniel.

"Maaf..." Satu kata dari Daniel membuat seketika suasana mendadak terasa menyesakkan.
"Tapi ada saatnya seseorang dihadapkan pada situasi yang sulit." Daniel tersenyum kecil, senyum yang bahkan tidak sampai ke matanya, senyum yang tak terasa manis, senyum yang baru kali ini terbentuk di wajah tampan lelaki itu.
"Bukannya gue nggak percaya ke kalian, jujur saja bahkan jika gue disuru milih siapa orang paling gue percaya di dunia ini, itu adalah kalian. Namun, ada hal yang nggak bisa gue katakan walau nyatanya gue sangat ingin untuk bilang." Daniel kembali membuat jeda.
"Nyatanya, gue nggak bisa. Karena belum saatnya dan juga itu bukan hak gue buat ngomong."

"Apa karena si murid baru itu?" Zoey akhirnya bertanya.

Daniel mengangguk mengiyakan.
"Benar, karena dia."

Leo mendengus tak percaya akan jawaban Daniel.
"Apa hebatnya coba si murid baru itu? Gue bahkan nggak percaya kalau dia cewek."

Daniel tidak marah mendengar ucapan sinis dari Leo, sebab dia tahu bahwa banyak yang tidak Leo ketahui di sini.
"Ketika lo kenal si murid baru itu sedikit lebih lama, lo bakal tahu bagaimana hebatnya si murid baru itu."

Sean diam, begitu pula Zoey. Sedangkan Leo kembali mendengus. Berbeda dengan Daniel yang tersenyum kecil.

"Lo suka sama si murid baru itu?" Pertanyaan yang tiba-tiba Juna katakan membuat suasana seketika kembali hening.

Daniel menatap Juna bingung.
"Maksud lo?"

Juna mengangkat bahu singkat sebelum berujar.
"Singkatnya nggak mungkin seorang pria tiba-tiba mengorbankan banyak hal hanya karena seorang cewek tanpa alasan yang jelas selain melindungi."

Sean menatap Juna dengan tatapan yang tak bisa dimengerti, ada hal yang entah mengapa membuat Sean mulai berpikir tentang sahabatnya itu.

"Lo benar, gue emang ngelindungi dia. Tapi alasan untuk suka yang seperti lo pikir, itu nggak." Jawab Daniel membuat Juna terkekeh hambar.

"Bullshit tahu nggak." Juna kembali meneruskan kekehan hambarnya.
"Nggak ada yang mau ngelindungi seseorang hanya karena ingin." Kekehan Juna terhenti, berganti dengan wajah dinginnya.
"Ini bukan saat yang tepat buat lo pasang peran sebagai kesatria yang menolong dengan jiwa kemanusiaan."

"Bukan kayak gitu Juna. Ada alasan yang nggak bisa gue katakan di sini dan gue harap lo ngerti." Daniel mengacak rambunya frustasi.

"Alasan apa lagi jika bukan lo suka sama dia!" Entah mengapa wajah Juna tiba-tiba mengeras seiring dengan perasaannya yang mendadak tidak bisa ia definiskan.

"No Jun, bukan itu!"

"Kalau gitu apa? Lo nggak bisa----"

"Jun..."

Panggilan Sean yang tiba-tiba membuat semua perhatian teralih kepada pria itu.

"Lo cemburu?"

Seketika suasana mendadak hening sedetik setelah pertanyaan Sean terdengar di ruangan itu. Semua pasang mata menatap ke arah Juna yang seketika membeku.

Pria itu tersadar akan apa yang telah terjadi, otaknya sudah bisa memproses dengan jelas apa yang telah ia lakukan dan saat itu pula matanya terbelalak kaget.

"Gu-e? Nggak mungkin!"

■■■Akhir kata jangan lupa Vote dan Comment yaaa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

■■■
Akhir kata jangan lupa Vote dan Comment yaaa. Naya sayang kalian.

Unexpected✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang