Ini cerita fanfiction alias fiksi penggemar. Setting dan nama tokoh milik Masashi Kishimoto selaku pencipta Naruto. Tapi, cerita ini murni milik saya. Hasil pemikiran saya yang terinspirasi oleh novel web China yang marak dengan tema transmigrasi. Hanya terinspirasi, tidak menjiplak.
Naruto asli sebelum transmigrasi bergender laki-laki dengan setting sesuai manga. Setelah transmigrasi, settingnya mengikuti masa Jepang era 2019-an ini. Hanya nama tokoh yang sama.
Dalam cerita ini akan ada penyensoran untuk kata-kata yang kurang pantas seperti cacian, umpatan, kata-kata jorok, dan kata-kata cabul bernuansa seks.
Untuk peribahasa dan istilah asing, akan ada catatan kaki di bawah chapter.
CHEKIDOT (^_^)
Di tengah tanah lapang yang luas, yang sebelumnya berupa hutan belantara, berdiri dua orang remaja pria. Remaja yang satunya berparas tampan dengan kulit berwarna putih mulus seperti batu giok murni yang kontras dengan warna rambut panjang sebahunya yang justru berwarna hitam kelam.
Remaja yang satunya lagi tidak begitu seberuntung temannya. Wajahnya tidak terlalu memalukan. Cukup tampan. Akan tetapi, dengan rambutnya yang pirang keemasan dan pupilnya yang biru jernih nan lembut, orang bisa salah mengiranya sebagai cewek, jika ia tidak berhati-hati dalam memilih style pakaian dan aksesorisnya.
Persamaan kedua remaja pria ini adalah tubuh keduanya sama-sama dipenuhi luka dan berdarah-darah.
"Tinggal sedikit lagi, Naruto. Ting...gall... she..di..khit lha..ghi..." Sasuke telah mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mengatakannya, sebelum meludahkan darah segar dari mulutnya. Matanya berkunang-kunang. Pandangannya menjadi buram. Sayup-sayup, ia mendengar suara, "Sasuke! Sasuke!" memanggil namanya dengan nada cemas. Ia ingin mengatakan sesuatu untuk menghibur sahabatnya, akan tetapi kegelapan tanpa dasar telah menarik jauh kesadarannya yang tinggal sejengkal. Tubuhnya limbung dan akhirnya ambruk. Tersungkur di atas tanah yang kotor.
"Sasuke? SASUKE..!" Jerit Naruto panik. Pupilnya berkontraksi, menatap nyalang tubuh sahabatnya yang terbaring di tanah berkubang dalam kolam darah. Satu lagi sahabatnya tumbang. Semua orang, dari rekan aliansi, teman, hingga gurunya berdiri berjuang bersama. Mereka bergandengan tangan untuk melawan sumber momok dunia shinobi yakni Madara dan Akatsuki. Tapi, kini yang masih berdiri tinggal dia dan para hokage yang diedo tensei oleh Orochimaru.
Naruto berdiri dengan tubuh gemetar. Kaki-kakinya melunak seperti jelly, hampir tidak sanggup menopang tubuhnya sendiri. Staminanya memburuk mendekati ambang batasnya. Cakranya sendiri, meskipun sudah ditopang dengan cakra milik Kyuubi, sudah menyentuh limit bawahnya. Namun, ia menggigit bibir bawahnya, mengeraskan tekadnya untuk terus berdiri tegak. Ia harus bertahan demi orang-orang yang ada di belakang punggungnya. Jika ia ambruk maka semuanya selesai. Mereka semua binasa bersama dengan hancurnya tatanan alam dunia shinobi.
"Hah hah..." Deru nafasnya terdengar tidak stabil. Terputus-putus. Ia bergerak maju ke depan dalam mode slow motion, menyarangkan pukulannya ke tubuh musuhnya. "Hiya..!" Suaranya lebih garang dari pukulannya. Seperti tong kosong berbunyi nyaring. Suaranya mengancam, namun pukulannya sekeras lambaian sayap kupu-kupu, menyapu lembut tubuh Madara, musuhnya.
Madara menatap jijik kecoak yang keras kepala menolak mati di hadapannya ini. "Cih!" Decihnya. Meski jijik, tapi matanya memberi Naruto penghargaan. Bocah bodoh ini telah memberinya pertarungan sengit yang apik. Ia tidak menyerah, meskipun tahu jalan di depannya buntu dan tubuhnya sendiri babak belur, tanpa harapan hidup. Tekadnya tidak lebih lemah dibandingkan dengan mantan temannya, Hashirama. Sayangnya! Dalam satu gunung tidak bisa menampung dua harimau *. Hanya ada satu dan itu... "Aku." Katanya penuh tekad.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ninja in Campus
FanfictionTerakhir yang Naruto ingat, jantungnya ditusuk dengan pedang oleh Madara. Ia pikir ia akan langsung menghadap Raja Yama. Namun, saat ia membuka mata, ia justru menggantung di udara dengan satu tangan terjerat pada seutas tali kabel listrik. Yang mem...