Author Note :
Saya turut berduka cita atas musibah yang dialami warga di kota Wuhan, Tiongkok. Kota yang awalnya penuh dengan denyut nafas kehidupan kini mendadak suram. Roda-roda kehidupan di kota itu berputar lambat, terengah-engah layaknya orang tua yang sedang sekarat. Ironis.
Saya tidak mengenal satu pun dari mereka. Tapi, meski berbeda bangsa, ras, dan agama, itu tidak mengurangi rasa empati pada mereka. Aku bisa merasakan penderitaan mereka. Ketakutan dan keterpurukan mereka. Pasti sakit.
Rasa sakitnya lebih sakit dari saat aku melahirkan anakku dulu. Setidaknya, setelah melahirkan, aku tahu jika semua bisa dipulihkan. Berbeda dengan yang dialami warga kota Wuhan.
Bayangin aja jika itu terjadi di tempat tinggalmu!
Kamu sudah dicekam rasa takut tertular virus Corona yang ganas dan mematikan. Kamu masih harus menanggung kondisi dipenjara sebagai tahanan rumah. Semua jalur keluar diblokir. Tidak bisa keluar meninggalkan kota. Tidak bisa bekerja seperti biasanya. Padahal, hidup masih harus berjalan. Jika kamu tidak kerja, lalu bagaimana kamu bisa memenuhi kebutuhan hidup. Semua itu dibeli dengan uang. Bukan daun.
Sungguh!
Dalam bayanganku, melihat kondisi Wuhan aku merasa yach hidup dalam novel fiksi bertema apocalypse, zombie yang akhir-akhir ini booming. Mencekam dan penuh rasa takut.
Saya harap kondisi Wuhan segera membaik. Dan, semoga wabah penyakit Corona bisa cepat diatasi sama halnya dengan kasus penyakit flu burung di Indonesia yang juga sempat membuat orang-orang Indonesia ketakutan.
Amiinn!
Chapter 19
Sasuke duduk dengan elegan di kursi layaknya seorang raja. Jemari tangannya dengan santai membelai cangkir tehnya seolah-olah itu barang antik yang sangat berharga.
Di sisi lain, Naruto dilanda gelisah. Kepalanya terunduk resah. Beberapa kali ia menghela nafas panjang untuk menghilangkan sengatan rasa sesak di area dada dikarenakan tekanan psikis yang dilancarkan Sasuke. Tangannya mengepal kuat di atas lututnya. Dengan setengah menggigit bibirnya, Naruto meludahkan tiga kata, "Maaf. Maaf Sasuke," >_<
Sasuke mengacuhkan Naruto. Melirik ke arah Naruto pun tidak. Sebaliknya, ia justru dengan santai menyesap tehnya. Wajahnya terlihat rileks tampak jelas jika ia sangat menikmati acara minum tehnya.
"Maaf," ulang Naruto dengan suara lirih.
Tuk!
Sasuke meletakkan cangkir tehnya di atas meja. "Kau tahu apa salahmu?" Katanya dengan ekspresi dingin.
Cadangan kesabaran Sasuke tidak banyak. Hampir nol besar. Tapi, ia bisa berkompromi. Khususnya jika hal itu menyangkut kesejahteraan masa depannya dan juga keluarganya. Karena itu, demi masa depan indahnya, ia menguras habis cadangan kesabarannya untuk menghadapi nona Naruto yang anu-anu. Kau tahu anu-anu? Bodoh di luar batas.
Naruto menatap Sasuke bingung. Lalu, dengan pasrah menggelengkan kepalanya. "Tidak," ujar dengan wajah tanpa dosanya.
Sasuke menggiling giginya. Jika saat ini ia sedang memegang pulpen.., dijamin pulpen itu bakalan patah jadi dua atau bahkan remuk menjadi debu. Ia sedang marah. Coret. Sangat marah.
Di dunia ini, orang yang paling dibenci Sasuke nomor dua adalah orang tolol. Sudah tolol, nggak merasa tolol pula. Ditambah lagi malas belajar. Dijamin Sasuke bakal muntah karena jijik. Dan, orang tolol itu saat ini tepat berdiri di depannya. Untuk memperburuk keadaan, orang itu anak asuhnya sendiri, artis baru yang baru saja ditanda tanganinya. Miris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ninja in Campus
FanfictionTerakhir yang Naruto ingat, jantungnya ditusuk dengan pedang oleh Madara. Ia pikir ia akan langsung menghadap Raja Yama. Namun, saat ia membuka mata, ia justru menggantung di udara dengan satu tangan terjerat pada seutas tali kabel listrik. Yang mem...