Sabtu pagi, Naruto menghadap manager mall. Ia mengutarakan pengunduran dirinya.
"Jadi. Kau ingin berhenti bekerja?"
Sang manager dalam hati sedikit kecewa dengan pengunduran Naruto. Jika bisa, ia ingin mengikatnya secara permanen dan memupuknya menjadi orang kepercayaannya di masa depan. Sangat sulit untuk menemukan seorang pekerja yang baik seperti Naruto. Orang Jepang yang bekerja keras dan mau diajak lembur banyak, tapi yang betul-betul menikmati pekerjaannya tanpa mengeluh jumlahnya sedikit. Mereka mungkin tersenyum dan sabar saat melayanimu, tapi senyum mereka palsu. Naruto beda. Senyumnya tulus dari hati membuat orang yang melihatnya senang. Cara bicaranya selalu ramah tak perduli serewel apapun pelanggannya. Dia sungguh tipe pekerja idaman. Sayang jika ia harus lepas dari genggaman tangannya.
"Ya. Ayahku ingin aku kembali ke Tokyo untuk melanjutkan study."
"Eh, kau sudah pulih dari amnesiamu?" Sang manager terkejut.
Dari awal, ia sudah menduga apabila Naruto ini bukan orang biasa, ditilik dari segala yang dipakainya yang semuanya bermerk buatan Prada, Gucci, Hermes, sampai Chanel. Dugaannya kian menguat setelah ia berinteraksi cukup lama dengannya. Sikapnya selalu anggun dan juga elegan, memancarkan dominasi serta kemewahan, meskipun yang dikenakannya setelah jadi pegawai mallnya rendah hati. Manager percaya jikalau orang kaya sejati akan tetap memiliki kesombongan dalam tulang-tulangnya. Tidak perduli apa yang dikenakannya esensi sejatinya tidak akan berubah sedikit pun.
"Baiklah. Sesuai permintaanmu." Sang manager dengan tidak berdaya menyetujui permintaan Naruto. "Ingatlah pesan ramahku untuk terakhir kalinya, jangan bercanda dengan hidupmu sendiri," imbuhnya yang sekaligus mengakhiri percakapan ramah mereka.
"Hai'k,"
Usai menghadap managernya, ia pamitan pada rekan-rekan sejawatnya. Suasananya lumayan haru biru mengingat betapa disukainya Naruto.
"Hati-hati di Tokyo Naruto. Jika kau tidak betah, kau bisa kembali kemari." Ujar Okomori seraya memeluk Naruto.
"Hais, kau ini. Bagaimana ia bisa tidak betah? Yang kita bicarakan ini Tokyo, tempat tujuan impian semua anak muda. Bisa tinggal di sana itu adalah anugerah," sergah Miya.
"Tidak semua orang menyukai kehidupan di Tokyo yang cepat dan penuh gemerlap sepertimu," tukas Okomori membela diri.
"Dan, kau tidak?" Ejek Miya atas kemunafikan Okomori.
"Sudah-sudah. Jangan bertengkar untuk hal sepele!" Lerai Natsume menengahi.
Naruto tersenyum canggung. Tak enak hati. Malamnya mereka merayakan perpisahan Naruto di tepat karaoke. Mereka makan, bernyanyi, dan bersenang-senang. Salah satu rekan yang agak mabuk menawarkan segelas minuman bir pada Naruto yang ditolaknya secara halus. "Maaf, aku belum cukup umur."
Tak perduli bagaimana ia terlempar ke dunia yang berbeda, petuah ibunya tetap ia junjung tinggi.
Paginya, ketika Naruto selesai mengepak barang-barangnya yang rencananya ia paketkan ke rumah untuk mengurangi beban selama perjalanan pulang. Ia sendiri berencana beli tiket kereta api usai memaketkan sisa barangnya. Kereta api dipilih karena dinilai lebih murah dan sesuai dengan budgetnya yang terbatas. Tiba-tiba, ia kedatangan tamu tak diundang mengenakan jas hitam dan berkaca mata hitam.
Mafia? Pikiran pertamanya.
Para mafia sering kali tampil dengan balutan baju serba hitam dari celana panjang, jas, kemeja, sepatu hingga kaca mata. Ekspresinya dingin tak tersentuh. Seperti tampilan tamunya. Wajar jika ia berfikir pria ini seorang mafia.
Pertanyaannya, kapan ia bersinggungan dengan mafia?
Baik sebelum maupun sesudah transmigrasi, Naruto TIDAK PERNAH berhubungan dengan bisnis dunia bawah ini. Pemilik asli hanyalah anak manja yang gemar belanja barang mewah, tapi tidak hobi dengan dugem. Jangankan menyentuh area hitam ini, mendekatinya pun tidak. Setelah ia bertransmigrasi, itu lebih tidak mungkin lagi. Ia hidup dengan damai di Desa Totsukawa. Tidak pernah bersentuhan dengan dugem dan sejenisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ninja in Campus
FanfictionTerakhir yang Naruto ingat, jantungnya ditusuk dengan pedang oleh Madara. Ia pikir ia akan langsung menghadap Raja Yama. Namun, saat ia membuka mata, ia justru menggantung di udara dengan satu tangan terjerat pada seutas tali kabel listrik. Yang mem...