Part 12

3.1K 315 4
                                    

"Mbaaaak!!!!" teriak (Nama kamu) yang terlihat murka kepada kakaknya itu. Dia dengan langkah terseyok menghampiri Meri yang cekikikan tidak jelas di meja makan. "Gigi gue bener-bener sakit. Gue lagi gak ada mood buat ladenin bencandaan lo," keluhnya.

Meri menatap lekat adiknya itu, memang benar sudah beberapa hari ini (Nama kamu) nampak tidak nafsu melakukan apapun dan hanya selalu tidur di kamar dengan menghadap kearah kanan. Dia kira itu merupakan hobi baru yang diciptakan (Nama kamu) makanya dia menggoda adiknya sedikit.

"Lo beneran sakit gigi?" Meri menyemburkan tawa puas.

(Namu kamu) menatap bunda dan ayahnya meminta pertolongan berharap meluruskan masalahnya dengan Meri yang sudah tertawa terpingkal saat ini.

"Mbak udah, adek kami beneran sakit gigi," tegur sang Bunda. Meri langsung saja menahan tawa sebisa mungkin. (Nama kamu) sebenarnya heran, apa selera humor Meri serendah itu? Apa karena orang sakit gigi dia sudah terpingkal?

"Makanya Dek, gigi tuh dicabut biar gak sakit," ujar sang ayah. Bunda mengangguk setuju membuat (Nama kamu) mendengus kecil.

"Lebih baik sakit hati.... Daripada, sakit gigi ini.... Biar tak mengapa... Rela rela, rela aku relakan.... Rela rela, rela aku relakan...." Meri memulai aksi dangdutnya dengan menjadikan sendok sebagai mic.

Bukan hanya Meri, kini kedua orang tua gadis itu terkikik kecil melihat aksi sang kakak. (Nama kamu) sudah pasrah, bukankah Meri memang orang yang seperti itu?

"Bunda...." rengeknya.

"Besok cabut gigi ya?" ajak sang Bunda. (Nama kamu) menggeleng kuat. "Bunda dapet rumah sakit. Katanya dokternya tuh baik banget, cabut gigi jadi gak sakit," bujuknya.

Katakan dia orang yang alay. Tapi memang benar (Nama kamu) sangat takut yang namanya dokter gigi. Bahkan dia pernah berpikir kenapa saat kita lahir, harus ada gigi susu untuk dicabut?

Adam--sang ayah melototkan mata mengisyaratkan agar gadis itu mau ikut dengan ajakan bundanya. Lagi-lagi (Nama kamu) pasrah dan menganggguk kecil.

Intan--bunda (Nama kamu) tersenyum lebar seakan baru memenangkan lotre yang berhadiah uang puluhan juta secara cuma-cuma.

###

Semua yang ada di ruang pemerikaaan gigi ini terlihat normal. Dan seperti biasanya, alat-alat medis berwarna silver untuk cabut gigi pun terlihat normal.

Lampu yang ada diatasnya itu dinyalakan membuat dada gadis itu bergemuruh hebat. Ini bukan jatuh cintakan? Masa dia jatuh cinta dengan lampu diruang cabut gigi.

"Buka mulutnya ya, coba saya lihat dulu giginya," ujar sang dokter lembut. Dia tersenyum kecil, membuat dokter itu terlihat manis. "Udah berlobang ya. Masih sakit gak?"

"Kemarin masih, tapi tadi pagi udah nggak. Jadinya bengkak deh," jawab (Nama kamu) dengan susah payah.

"Yaudah saya mulai cabut ya?" ujung jarum itu terasa menyengat didalam mulut (Nama kamu). Gusinya langsung saja kaku setelah beberapa saat. Dia dapat merasakan tang kecik untuk menarik gigi memasuki mulut gadis itu.

Dengan degupan jantung yang makin menguat, (Nama kamu) memejamkan mata dan menahan takut sebisa mungkin. Akan tidak lucu, jika gadis itu teriak karena giginya dicabut.

"Sudah," ucap sang dokter dengan senyum lebar. Dia meletakkan gigi tersebut dan memandang (Nama kamu) dengan seksama sembari memberikan kapas. "Adik saya kayaknya seumuran kamu juga."

"Eh?"

"Dulu tuh gigi dia berantakan banget. Terus gak mau dicabut, takut katanya. Tapi saya bujuk-bujuk terus akhirnya mau, tapi dengan syarat saya menjadi dokter gigi. Jadilah saya sekarang dokter gigi," kekeh sang dokter. Dia menarik sudut jasnya dan memperlihatkan name tag yang terpasang disana.

Drg. Fildza Hasnamudhia

"Therus?" (Nama kamu) hanya berani menjawab singkat. Dia takut menjawab panjang-panjang yang nanti fatalnya air liur dalam mulutnya merembes kemana-mana.

"Dia ada diruangan saya. Lagi ngunjungin. Emang deket sama saya,"

(Nama kamu) mengangguk kecil mengikuti langkah kaki dokter manis itu keluar. Diluar sudah ada bundanya yang duduk dengan wajah puas. Sepertinya hanya dirinya yang berwajah masam sekarang,

"Makasih ya Dok. Dia gak teriak kan waktu giginya dicabut?"

"Nggak kok Bu. Dia malah kayak tenang-tenang saja, yakan?"

Untuk menjaga gengsi (Nama kamu) mengangguk sekenanya saja.

"Teteh," terdengar suara berat ikut bergabung kepembicaraan mereka.

"Ini (Nam..) adik saya, Iqbaal." ujar dokter itu. (Nama kamu) berkedip tak percaya.

"Loh (Nama kamu), lo cabut gigi ya?" tegur Iqbaal. Dia tersenyum tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Kita ketemu lagi," lanjutnya.

Will Be Fine [Iqbaal Ramadhan]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang