Extra Part 2

2.7K 339 13
                                    

"Lang gimana sama Pak Ningrat?" tanya Iqbaal. Tangannya menari dengan indah di atas keyboard.

Elang mengecek tablet untuk memeriksa jadwal dengan beberapa kolega bisnisnya.

"Pak Ningrat nerima proposal, coba lu cek sendiri email yang masuk,"

Iqbaal mengangguk kecil. Dan kembali berkutat dengan tumpukan berkas didepannya.

"Gak usah paksain kerja kali Baal,"

Mata Iqbaal hanya memicing sebentar dan kembali menatap layar komputer didepannya.

Suara ketukan pintu membuyarkan kekesalan Elang. Dia menatap Iqbaal yang masih sibuk.

"Masuk," perintah Elang.

Seorang wanita menyembulkan kepalanya dia tersenyum samar sebelum Elang mengangguk dan membiarkan dia masuk.

"Aku ganggu ya?" tanyanya.

"Gak kok Fa, ada apa?"

Ifa--wanita itu tersenyum canggung dan berjalan dengan sebelah tangan membinting kertas. "Pak Iqbaal, jam 1 ada acara makan siang dengan Bunda bapak," jelas Ifa.

Elang yang mendengar langsung tertawa puas sembari memukul bahu Iqbaal.

Bunda Rike, Iqbaal tau betul bagaimana Bundanya itu. Semenjak kepulangannya dari Singapura dan berhasil menjadi CEO muda, wanita bercucu satu tersebut terus saja menjejelinya dengan kata 'Kapan nikah?' memangnya kalau umur 27 tahun harus menikah?

Iqbaal tak bisa menyalahkan Bundanya juga. Pasalnya, Ody turut andil dalam hal ini.

"Bun, masa nih yah Ale nyuruh Teteh jagain (Nama kamu). Dia aja gak jelas kapan nikahnya kan? Bunda perempuan, Teteh juga perempuan, tau kan maksud aku Bun?"

Karena ucapan ajaib Teh Ody itu, Bunda Rike akhirnya terus mendesak Iqbaal. Dan kali ini makan siang?

Pria itu tau pasti maksud makan siang. Pasti Bundanya membawa anak gadis orang lagi.

###

Iqbaal mendesah kecil, sudah hampir 15 menit keterlambatan dari jam yang ditentukan Bundanya. Apa Rike tidak tau sudah seberapa bosan Iqbaal menunggu?

"Dek," baru saja Iqbaal ingin menelpon sang pemilik suara.

Rike tersenyum lembut dan mengambil kursi di depan anak bungsunya. "Dianterin siapa Bun?"

"Pak Subair," jawab Rike menyebut sopir pribadi keluarganya. "Biasa Jakarta macet," ujar Rike seolah mengetahui kegondokan Iqbaal.

"Ada apa, Bun? Ngajak makan siang segala,"

Rike manajamkan matanya sembari menarik nafas pelan. "Kamu kan semenjak pulang dari Singapura udah gak tinggal sama Bunda Ayah, jadi jarang makan bareng lagi. Emangnya kamu gak mau makan sama Bunda?"

"Kan udah sering makan siang bareng. Kemarin juga kan? Hari ini siapa lagi namanya?"

Belum Rike bersuara seorang gadis dengan rambut pirang coklat tersenyum kecil. Dia menunduk sebentar kearah Rike dan mengambil kursi di samping Iqbaal.

"Dia Jane, Bunda kenal sama dia waktu ke Australia dulu, temennya (Nama kamu),"

Iqbaal menilai penampilan gadis bule disampingnya. Rambutnya terurai bergelombang, dengan kulit putih pucat. "Jane, I think I can speak Indonesia well?" (Aku pikir, aku bisa berbahasa Indonesia dengan baik?)

Kepala Iqbaal mengangguk-angguk tanda mengerti. "Maksud Bunda bawa dia apa?"

Rike mengangkat bahu tak tau juga apa motif dia membawa bule itu bersamanya.

"Bunda, aku udah janji sama (Nama kamu), masa iya Bunda mau bikin anaknya dosa karena ingkar?"

"Dek, Bunda tau kamu itu janji buat kejar (Nama kamu) tapi kalau kamunya cuma diem gini gimana mau terealisasikan?"

"Tapi Bun, aku udah gak minat suka sama orang lagi. (Nama kamu), aja"

Hening. Meja tempat mereka bertiga duduk terasa kosong. Hanya sesekali terdengar dentingan sendok dari meja sebelah dan sahutan kecil dari ujung warung makan.

"I'm sorry, tapi jika boleh saya tahu kenapa bahas (Nama kamu), ya?"

Rike dan Iqbaal bersamaan menatap Jane yang juga sama bingungnya. Jika sekarang waktunya bercanda Iqbaal ingin bilang kalau kemampuan berbahasa bule itu juga lumayan.

"Kalau adek emang serius sama (Nama kamu), kasih dia kepastian. Atau Bunda sendiri yang bakal cariin pasangan untuk dia. Itu anak gadis orang Dek, pamali mainin perasaan anak orang," jelas Rike.

Jane yang mulai mengerti arah pembicaraan kedua Ibu dan anak itu tersenyum sekilas dan merogoh tas kecilnya. Menyerahkan sebuah kertas biru muda kepada Iqbaal.

"Next week my graduation and (Nama kamu). I hope you can come and be honest with your feelings," (Minggu depan acara wisudaku dan (Nama kamu). Kuharap kamu datang dan bisa jujur dengan perasaanmu).

Iqbaal menatap undangan biru muda yang diserahkan Jane. Terus maksud bundanya membawa bule itu kesini untuk apa? Dijodohkan dengan dia atau dijadikan mak comblang untuk dia dan (Nama kamu)?

"Tante, saya permisi. Soalnya ikut kesini belum izin," Jane bangkit dan melambai singkat sebelum pergi keluar dari warung makan.

Iqbaal tambah dibuat bingung saat Bundanya hanya mengangguk dan membalas lambaian tangan Jane.

"Bun ini maksudnya apa sih? Gak ada yang mau Bunda jodohin sama aku lagi?"

"Bunda gak minat punya menantu bule. Kalau lokal bisa, kenapa enggak?"

"Jadi bule itu kesini untuk apa?"

"Wakilin (Nama kamu), soalnya Bunda gak mau kalau kamu keenakan kalau (Nama kamu) yang datang. Usaha Dek, kejar apa yang seharusnya dikejar sebelum orang lain yang ambil,"

"Hah? Bunda bicara apa sih?"

"Singkatnya gini, kalau Bunda panggil (Nama kamu) yang datang kamu gak ada usaha buat kejar dia,"

Rike tersenyum. Dia yakin kalau putranya sekarang ini sedang berpikir keras. "Dek, kalau kamu masih jalan ditempat, Bunda bakal turun tangan buat cariin (Nama kamu) pasangan, dan yang pastinya bukan kamu loh,"

Will Be Fine [Iqbaal Ramadhan]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang