Pagi hari, Eita Semi mengaduh kesakitan.
Kelopak matanya tidak bisa dibuka dengan maksimal. Seperti ada sesuatu di dalamnya. Kecil dan banyak. Setiap bola matanya bergulir perlahan, rasanya perih sekali. Seperti ditusuk-tusuk.
Apa itu pasir?
Kenapa ada pasir di matanya?
Apa tadi malam ia tertidur di pantai?
cinta suciku kau buang-buang─
Oh, ada panggilan masuk.
Tangan Eita meraba nakas, mencari-cari benda pipih yang biasa ia pakai untuk berkomunikasi.
Ah, dapat.
"Yak," Eita memulai dialog.
"Apaan tuh, 'Yak'?" sahut penelpon di ujung sana.
"Ini siapa?"
"Sawamura. Lo gak nyimpen nomor gua?"
"Oh, Sawamura. Kenapa, Sawan?"
"Mbahmu. Lo di mana? Lupa daratan?"
"Gua masih di rumah, ini."
"Ada kuis, goblok. CEPETAN SINI!"
"OIYA ANJIR LUPA GUA!"
Eita segera berdiri. Tapi karena matanya masih tertutup, ia malah terjerembab di antara baju-baju yang berserakan.
"ADAW!"
"Lu kenapa sih,"
"WAN JEMPUT GUA WAN! MATA GUA GAK BISA KERJA SAMA!"
" ... "
"PLIS GUA GAK BISA BANGUN INI, CEPETAN KEMARIII!"
"Nyusahin."
"MBOH."
Sekitar 20 menit kemudian, pintu kamar kos Eita diketuk. Pemilik kamar yang belum berpindah sesenti pun dari posisinya yang terjatuh tadi hanya berseru dari dalam.
"MASUK AJA, GAK DIKUNCIII!"
Maka masuklah Daichi yang lagi celoteh, "Lu tuh tau gak sih ini udah jam berapa. Kita kuis setengah jam lagi. Udah mandi belom─"
Kaget banget pas liat mata Eita yang bengkak.
"BUSET MATA LO KENAPA?!" teriak Daichi.
"Mana gua tau! Asli, ini dari pagi, gak bisa dibuka. Sakit banget dshsjsiwis,"
"Kenapa, sih?" Daichi berjongkok, bermaksud membuka paksa kelopak mata Eita. "Bintitan atau gimana─"
Teriakan histeris dari mulut oknum Eita Semi terdengar hingga jalan raya. Tak lama kemudian, teriakannya berganti menjadi serapah. Tangannya sibuk mengipasi wajah, sementara air mata mulai mengalir di pipinya.
Memang sesakit itu.
Daichi jadi panik.
"Ayo ke klinik," ujar Daichi kemudian.
Sementara itu, pak Santoso─dosen Daichi dan Eita─tengah mencoret nama-nama anak yang tidak mengikuti kuis.
Daichi dan Eita dicoret pertama kali.