Lewat dersik angin pagi ku titipkan salam rinduku padanya.
Sabar, aku sedang berlari menuju kesana.
OoOo
| 5 |
2010. Sebelumnya, Ayah, aku dan bi Ima menetap di Makassar. Setelah hampir setahun kepergian ibu. Ayah memboyong kami pindah ke Jakarta. Umurku masih 4 tahun kala ibu divonis mengidap asma kronis lantas penyakit itu berhasil merenggut nyawa ibuku saat aku duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar.
Kepergian ibu yang mendadak membuat aku dan ayah belum bisa merelakan kepergian ibu. Kami seolah dihantam badai. Semenjak saat itu ayah menutup diri, ia menjadi ayah yang berpura-pura bahagia di depan semua orang namun ketika malam datang dan tidak ada seorangpun, ia menjadi ayah yang terpuruk.
Aku beberapa kali mendapati ayah duduk di meja kerjanya digiring suara tangisan tersedu-sedu darinya.
Ketika kita kehilangan sesuatu, lantas tidak menjadikan waktu di semesta ini berhenti juga. Ayah sadar akan kenyataan itu. Dia masih harus tetap bernafas untukku.
Lalu ayah memutuskan risen dari kantor tempatnya bekerja dan membuka usaha warkop di Jakarta sementara rumah kami di Makassar ditinggali oleh keluarga.
Seperti ayah yang menutup diri. Aku melakukan hal yang sama. Terdistorsi dengan keberadaan sehingga tidak memiliki teman. Bahkan sebulan sepeninggal ibu, aku jarang mengobrol pada orang-orang di sekitarku.
Entah. Sendiri membuatku nyaman masa itu. Atau karena memang tidak ada pundak seseorang yang menenangkan atau berbagi kesedihan denganku. Hingga akhirnya aku terjebak pada zona itu.
"Indah. Ibumu cantik." komentar Aster, memegang bingkai foto yang diambilnya dari meja belajar. Di foto itu aku sedang berada di kebun binatang. Ibu menggendongku karena menangis.
Aku tersenyum sambil mengangguk. Ibuku memang perempuan yang cantik selain itu dia adalah seorang ibu yang ulet dan pandai mengurus anak. Ibu meluangkan seluruh waktunya untuk mengajakku bermain dan belajar.
Peran yang ku pikir ayah tidak akan mampu menggantikannya. Bila dipikir-pikir ayah bahkan lebih hebat mengurusku. Dia bisa berperan ganda sebagai seorang ibu dan seorang ayah.
"Kamu imut sekali difoto. Ini waktu kamu umur berapa tahun?"
"4 tahun."
"Oh. Kok kamu nangis sih? takut ya sama hewan yang ada di kebun binatang?"
Aku menggeleng, "Hari itu, aku tahu ibuku sedang sakit. Meski belum mengerti tentang penyakitnya."
Aster diam sambil memandangku, entah apa yang sedang dipikirkannya. "Indah. Kamu perempuan yang kuat."
Justru aku perempuan yang lemah. Perempuan yang terlalu takut pada kenyataan. Aku cuma membalas Aster dengan senyum tipis.
Aster beralih melihat foto-foto masa kecilku lainnya yang terpajang di dinding.
Aku dan Aster pelan-pelan mulai dekat. Masih sedikit ada rasa saling canggung sih. Namun Aster terus berusaha menghilangkan rasa canggung diantara kami. Misalnya sepulang sekolah Aster pasti ikut pulang ke rumahku, kami menonton tv atau memasak dirumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vespa, Me and You #1
Novela Juvenil"Uang bisa dicari. Muka mungkin bisa dioperasi. Tapi Vespa-ku, takkan bisa terganti!" Seseorang yang selalu aku peluk dari belakang kala Dia mengendarai vespanya. Lalu Dia membawa langkahku ke berbagai tempat menakjubkan. Oh ya, apa kamu pernah di...