I Wish A Miracle
.
.
.
<Page Three>
.
"I will find you with the miracle that I have."
.
.
.
Mark termenung. Ia duduk diatas sebuah kursi yang di letakkan di samping tempat seseorang lainnya menutup mata.
Iya, namanya Lee Jeno di lihat dari name tag yang terpasang di seragam sekolahnya. Teman Jaemin yang kemarin di ceritakannya.
Mark tidak tahu kenapa ia disini sekarang, di ruang unit kesehatan dan memilih untuk melewatkan jam pelajaran. Ia merasa ingin terus berada disana, menjaga Jeno dengan alasan yang ia sendiri tidak mengerti.
"Kau tidak masuk ke kelas, Mark?"
Pemuda Jung itu terperangah, mendongak untuk menatap Seulgi yang kebetulan sedang berjaga disana. Wanita cantik itu juga yang telah mengobati luka di wajah Jeno. "Aku ingin disini untuk menjaganya. Tidak apa-apa?"
Seulgi tersenyum. "Ya, tentu saja. Aku akan memintakan ijin untukmu dan juga memberitahu wali kelas Jeno." Ucapnya. Ia berlalu dari sana, membiarkan Mark kembali merasakan keheningan dengan mata yang tak lepas dari sosok Jeno yang masih menutup mata.
Wajah anak itu... terasa begitu familiar. Entah mirip dengan siapa―ayahnya? Atau ibunya? Mark tidak tahu. Padahal Mark yakin sebelumnya mereka tidak pernah bertemu meskipun berada di sekolah yang sama.
"Aku sering kali memintanya datang untuk mengobati lukanya, tapi Jeno tidak pernah mau dan hanya akan diam seharian di kelas."
Itu yang di katakan Seulgi tepat ketika ia selesai menempelkan sebuah plaster di pelipis Jeno. Fakta pertama yang membuat Mark begitu terkejut.
"Setiap hari lukanya selalu baru. Selain di wajah, ia juga mendapatkannya di kepala dan di seluruh bagian tubuhnya. Itu bukan main-main... anak ini telah di pukuli."
Fakta lainnya yang membuat semakin terkejut. Jaemin mengira Jeno selalu terlibat perkelahian sepulang sekolah, tapi setelah mendengar pernyataan Seulgi tentang kemungkin luka yang Jeno miliki sepertinya anak itu bukan terlibat perkelahian.
Di pukuli―
Mark terlalu jauh melamun, hingga ia tersentak begitu mendengar suara erangan kecil dari adik kelasnya. Setengah panik, ia memfokuskan pandangan matanya pada kedua mata Jeno yang perlahan terbuka.
Ya Tuhan! Mata itu bahkan seperti pernah Mark lihat! Tidakkah mata sipit itu terlihat mirip dengan ayahnya, Jung Jaehyun?
"Kau bangun?" Mark mencoba untuk tersenyum dan bertanya halus. Tentu saja ia tidak ingin membuat Jeno terkejut. "Apa ada yang terasa sakit? Aku akan panggilkan Seulgi noona―"
"Tidak."
Mark terdiam. Untuk pertama kali ia mendengar suara Jeno meskipun sangat kecil. Ia masih duduk disana, menunggu rangkaian kata selanjutnya.
"Terimakasih―"
"Mark, tingkat akhir." Selanya, mengerti alasan kenapa Jeno memutus kata-katanya.