I Wish A Miracle
.
.
.
<Page Eleven>
.
“I will find you with the miracle that I have.”
.
.
.
Detik demi detik berlalu dalam keheningan.
Baik Jeno maupun Renjun tidak ada satupun di antara mereka yang membuka suara meskipun beberapa menit telah berlalu. Menciptakan canggung yang begitu kentara―membuat Jaemin yang masih berada disana hanya bisa mengusap leher belakang karena tidak tahu harus melakukan apa.
Setelah beberapa kalimat sarkas yang Renjun layangkan untuk Jeno sebelumnya, keduanya hanya menutup mulut dengan rapat. Jaemin tidak mengerti kenapa Renjun terlihat marah dan sempat menangis tadi, jenis pertemanan seperti apa yang di maksudnya waktu itu.
Maka dari itu, untuk memberikan mereka berdua waktu bicara, Jaemin berdeham pelan, meminta perhatian dari dua remaja yang satu garis lahir dengannya. “Ngg―maafkan aku, tapi lebih baik aku keluar agar kalian bisa bebas berbicara.” Ia tersenyum canggung, melangkahkan kaki keluar dari ruangan meskipun Jeno dan Renjun tidak memberikan balasan apapun.
Nafas leganya terhela setelah ia berhasil menutup kembali pintu perawatan Jeno. Merasa bingung harus melakukan apa, ia memilih untuk duduk di kursi tunggu yang terletak tidak jauh dari sana dan mengeluarkan ponselnya.
Memberikan pesan kepada Mark yang tidak mendapat jawaban meskipun Jaemin sudah menunggu lebih dari lima menit.
Pada akhirnya, ia beranjak, pergi keluar dari rumah sakit untuk mencari makanan karena perutnya sudah keroncongan. Seraya memikirkan… apakah benar Jeno adalah bungsu Jung yang selama ini Mark cari?
.
.
.
Renjun akhirnya menyerah. Ia membuang nafas panjang dan menjatuhkan diri pada kursi yang ada di samping tempat Jeno berbaring. Tatapannya melembut, memandang Jeno dengan air wajah yang berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ketika ia datang.
“Aku khawatir, Jeno… seharusnya kau tahu itu.” Tiba-tiba suara Renjun serak, entah efek sebelumnya ia telah menangis atau bukan. “Aku panik saat kau tak kunjung keluar untuk sekolah pagi itu. Aku pikir kau―”
“Bunuh diri?”
Renjun mengangguk mendengar tebakkan Jeno yang seratus persen benar. “Kau pulang terlambat malam sebelumnya, aku menunggumu sampai ketiduran dan entah siapa yang mematikan lampu kamarku. Aku kira… kau memang benar-benar terjun dari jembatan seperti apa yang kau katakan waktu itu.”
Remaja Lee itu tertawa kecil. Temannya itu memang sangat baik hati. Meskipun ia selalu terlihat galak dan sulit untuk di dekati, tapi Jeno tahu sebaik apa seorang Huang Renjun. Temannya yang memiliki hati yang hangat dan tangan yang terbuka untuk mendengarkan semua keluh kesahnya.
“Lalu?”
Kepala Renjun tertunduk dalam, tidak berani menatap Jeno barang sebentar saja. Kedua tangannya terkepal diatas lutut, menahan perasaan takut yang sejak kemarin menghantuinya. “Aku… aku takut. Aku panik. Aku khawatir. Aku kira kau sudah menyerah dan meninggalkanku begitu saja.”