I Wish A Miracle
.
.
.
<Page Fiveteen>
.
“I will find you with the miracle that I have.”
.
.
.
Seharian ini, Jeno sendirian di ruang perawatannya. Ia sebenarnya tidak berharap apapun, ia hanya seseorang remaja asing yang kebetulan di tolong oleh keluarga Mark Jung yang baik hati. Tapi sejujurnya, ia benar-benar mengharapkan salah satu di antara mereka ada yang mengunjunginya hari ini.
Entah itu Jaemin, Mark, bibi Doyoung, atau juga paman Jaehyun. Keempat nama itu tiba-tiba saja terlintas dalam pikirannya, mungkin karena beberapa hari ini Jeno hanya bertemu dengan mereka jadi hanya merekalah yang terpikir di dalam otaknya. Meskipun begitu, Jeno tidak bisa mengabaikan perasaan nyaman ketika ia bersama mereka. Aneh.
Saat Jeno akan menutup kedua matanya untuk tidur, mencoba menutup hari minggu yang di laluinya dengan sepi dan penuh pemikiran ‘kemana aku akan pulang besok’, suara pintu yang di geser membuat ia mengurungkan niatnya.
Matanya kemudian terbuka lebar, terkejut melihat Renjun yang datang di jam Sembilan malam.
“INJUN!”
Remaja Huang itu tertawa kecil seraya berjalan menuju Jeno yang sudah mengambil posisi duduk. “Yah, kenapa kau terkejut sekali? Kau kecewa karena aku yang datang, huh?”
“Ah―tidak, tidak!” Dengan cepat Jeno menggelengkan kepalanya. Keadaannya yang sudah lebih baik meskipun kepalanya masih terlilit perban membuatnya bisa melakukan hal itu. “Kenapa kau disini? Kau tahu ini sudah larut!”
“Hanya ingin menjengukmu…” Renjun menjawab dengan suara kecil dan tersenyum. Senyum yang diam-diam selalu di kagumi oleh seorang Lee Jeno. Kepalanya mendongak, menatap tiang infus yang sudah kosong dan tidak ada alat apapun yang menancapi tangan remaja bermata sipit itu. “…wahh, kau bahkan sudah tidak memakai infus. Kau benar-benar sudah pulih.”
Jeno diam saja, tidak memberikan respon apa-apa. Ia hanya sibuk menatapi wajah Renjun, mencoba membaca apa yang sebenarnya terjadi dengan temannya itu. “Injun―”
“Kau akan pulang besok. Bagaimana, senang?” Renjun dengan cepat menyela, tidak memberi kesempatan untuk Jeno berbicara. “Kau akan kembali ke sekolah, kau akan kembali melakukan aktifitas sebagai seorang siswa. Hm, kau pasti sangat senang.”
“Apanya? Aku bahkan tidak tahu kemana besok aku harus pulang.”
Mendengar penuturan itu, Renjun lagi-lagi tersenyum manis. Tangannya terulur, meraih tangan Jeno yang terpasangi plaster untuk menutupi luka akibat jarum infus yang sempat menancap disana. “Kau tidak perlu khawatir. Besok… kebahagiaan akan menjemputmu.” Ucapnya tanpa menatap mata lawan bicaranya. Ibu jarinya bergerak untuk mengusap halus punggung tangan milik Jeno.
“…huh?”
“Percayalah padaku. Kau akan menemukan kebahagiaanmu besok. Keajaiban akan datang padamu dan menuntunmu menemukan jawaban dari pertanyaan yang selama ini kau cari.”
“Kau terdengar seperti Jaemin.” Bahu Jeno mengedik. Ia ingat, kemarin Jaemin juga mengatakan hal yang sampir sama.
“Oh, benarkah?” Renjun mendapati Jeno yang mengangguki pertanyaannya. “Apa kau menyukai Jaemin?”
