I Wish A Miracle
.
.
.
<Page Eighteen>
.
“I will find you with the miracle that I have.”
.
.
.
Jaehyun bisa memahami kenapa waktu itu kakek Lee tidak melaporkan pada pihak yang berwajib tentang dirinya yang telah menemukan seorang bayi di tengah malam yang dingin di tempat ia biasa bertugas.
Mungkin, kakek Lee begitu menyayangi Jeno, ingin mengurus dan membesarkan Jeno sendirian. Tidak berniat melapor karena ia takut bayi Jeno akan di berikan ke panti asuhan di karenakan usianya yang sudah cukup tua untuk mengurus seorang bayi.
Jeno bercerita padanya tentang kebaikan kakek Lee. Dengan gajinya yang tidak besar, kakek Lee berusaha memenuhi kebutuhan Jeno dan juga Juyeon, puteranya. Kakek Lee menyekolahkan Jeno dan memberikannya bimbingan belajar, kasih sayangnya sama seperti kakek Lee menyayangi Juyeon.
Jeno di buatkan akta kelahiran sebagai cucu keluarga Lee, lebih tepatnya sebagai adik Lee Juyeon yang entah kenapa itu semua terlihat seperti hal wajar meskipun kenyataannya apa yang di lakukan kakek Lee adalah illegal.
“Apa? Putramu?” Paman Lee mendecih, menatap tidak percaya pada sosok Jaehyun yang masih menahan tangannya di udara. “Setelah ayahku, kini kau juga mengakui anak sial itu sebagai anakmu?”
Doyoung, yang sejak tadi berada di samping Jeno untuk melindunginya menatap paman Lee dengan tidak suka. “Tolong jaga ucapanmu, Juyeon-ssi.”
Sekali lagi, lelaki Lee itu mendecih. Dengan kasar, ia menarik tangannya yang di tahan oleh Jaehyun. Senyum sarkasnya ia sunggingkan. “Kenapa, hah? Dia memang anak sial, aku berharap dia mati dan tidak lagi merepotkanku―”
“Mulai sekarang, kau tidak perlu repot lagi untuk mengatainya anak sial. Dan mulai detik ini, kau tidak perlu lagi menyumpahinya untuk mati dengan segera.” Jaehyun berkata tegas, berdiri memunggungi Doyoung dan Jeno demi melindungi mereka. “Karena Lee Jeno sudah tidak ada.”
Paman Lee menaikkan sebelah alisnya merasa bingung.
“Jeno sudah resmi mengubah marga menjadi Jung karena dia adalah putra bungsuku yang hilang belasan tahun lalu. Jeno adalah putra kandungku, Jung Jaehyun dan Kim Doyoung.”
Hidup sebagai seorang pengangguran selama ini membuat lelaki Lee itu mengerutkan dahi ketika Jaehyun menekankan kata pada namanya. Ia tidak tahu siapa Jung Jaehyun dan ia tidak peduli. “Lalu? Baguslah kalau anak sial itu sudah bertemu dengan keluarganya, setidaknya dia tidak akan merepotkanku lagi.”
Doyoung sudah habis kesabaran. Ia baru beberapa kali mendengar Jeno-nya di sebut sebagai ‘anak sial’ oleh orang asing itu tapi hatinya sudah sesakit ini. Bagaimana dengan Jeno yang terus menerus di sumpahi untuk mati?
“Ya. Dan aku akan menuntutmu karena kau sudah bersikap kasar pada putraku.”
Paman Lee membesarkan bola matanya, menatap tidak percaya pada sosok tegap di hadapannya. “HEI! Jangan lancang!”
“Aku mempunyai bukti yang kuat, Juyeon-ssi.” Jaehyun tersenyum kecil. Jenis senyuman penuh kepuasan karena ia berhasil membuat orang seperti Lee Juyeon takut dengan perkataannya.