I Wish A Miracle
.
.
.
<Page Four>
.
“I will find you with the miracle that I have.”
.
.
.
“Kim Junsu.” Doyoung menggumam satu nama―seseorang yang paling ia benci dalam hidupnya ketika ia mengetahui bahwa orang itulah yang telah mengambil bayinya saat itu. “Kita tahu dia sudah mati, kenapa kau menunjukkan lagi fotonya padaku, huh?”
Doyoung menatap Jaehyun begitu tegas. Matanya memerah, seolah memberitahu Jaehyun jika ia membenci orang di foto itu. Setengah mati ia membencinya.
“Kita tidak akan menemukan apa-apa darinya!”
Jaehyun menghela nafas panjang. Ia melirik Mark sebentar yang sejak kedatangannya hanya diam. Kemudian, mengeluarkan dua foto lain untuk ia tunjukkan kepada Doyoung. “Kau benar, kita tidak bisa menemukan petunjuk apapun dari Kim Junsu yang telah mati, begitupun dari istrinya yang sudah sejak lama meninggal. Tapi, orang ini…” Jemari Jaehyun menunjuk pada satu foto lain, seorang laki-laki tampan yang terlihat seumuran dengan Jaehyun. “…dia telah berbohong, bersembunyi, dan memberikan fakta palsu.”
Doyoung menahan nafas. “Putra Kim Junsu.” Gumamnya.
“Ya, dia adalah putra tunggal Kim Junsu. Dulu, ia ada di pemakaman ayahnya dan kita meminta keterangan darinya. Tapi, semua yang dia katakan adalah kebohongan. Dia… telah bersekongkol dengan ayahnya!”
“Dari mana kau tahu?”
Jaehyun tidak menjawab. Ia meraih ponselnya untuk di berikan kepada Doyoung, meminta istrinya itu untuk melihat sebuah video yang sudah ada di layar.
“Dia ada di London sekarang, dan dia mengirim video pengakuan itu tiga jam yang lalu melalui e-mail.” Jaehyun memberi penjelasan singkat. Di tatapnya raut wajah Doyoung yang berubah sedih ketika video telah di putar. Setiap kata yang keluar dari putra Kim Junsu itu seperti melenyapkan semua tenaga Doyoung, membuat kepalanya sakit karena merasa di permainkan selama belasan tahun.
“Eomma…” Mark bersuara lirih. Mengambil ponsel ayahnya kemudian memeluk ibunya dengan erat.
“Tangkap dia, Jaehyun! Paksa dia untuk mengatakan dimana anak kita sekarang!” Doyoung terisak, hatinya terasa sakit sekali sampai tidak sadar ia telah mengeraskan suaranya. Kedua tangannya balas memeluk putranya, menyembunyikan wajah di bahu Mark yang tidak selebar bahu ayahnya. “…adikmu, Mark. Adikmu…”
Mark tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya terus memeluk ibunya dengan hangat. Sungguh, dirinya pun merasa sakit hati melihat video pengakuan itu. Bagaimana bisa ada orang yang begitu kejam mengambil adiknya yang baru lahir hanya karena tak suka pada sosok ayahnya, Jung Jaehyun?
“Aku sudah mengirim orangku untuk membawanya kemari. Besok, atau paling lambat lusa kita bisa bertemu dengannya… polisi akan segera menyelidikinya juga.”
Jaehyun menahan amarah sebisa mungkin, kedua tangannya terkepal setiap kali ia melihat sosok putra Kim Junsu di dalam selembar foto itu.
‘Kim Seokwoo…’
