I Wish A Miracle
.
.
.
<Page Twenty>
.
“I will find you with the miracle that I have.”
.
.
.
“Aku kira kau tidak akan datang.”
Renjun menoleh, pandangannya langsung mendapati seseorang yang berjarak satu meter di depan. Dia adalah Jeno, seseorang yang Renjun tunggu.
Matanya terus menatap Jeno, menelusuri penampilan anak itu yang sekarang sudah sangat berbeda. Tidak ada lagi luka di sekujur tubuhnya, pakaiannya terlihat sangat lebih baik dari yang selalu ia pakai sebelumnya, sepatunya tampak mewah, mantel yang di pakainya terlihat hangat, dan pancaran matanya menunjukkan bahwa Jeno bahagia sekarang.
Renjun tersenyum. “Kau terlihat sangat baik sekarang.”
Remaja dengan mata sipit itu menarik sudut bibir hingga membentuk lengkungan indah yang membuat Renjun tertegun. Bahkan… senyumannya pun terlihat berbeda. Senyum penuh kebahagiaan yang sebelumnya tak pernah ia lihat.
“Benarkah?” Jeno terkekeh kecil. “Kau benar… aku memang jauh lebih baik setelah aku tahu siapa keluargaku. Aku memiliki ayah yang hebat, ibu yang baik hati, dan seorang kakak laki-laki yang menyayangiku. Itu semua―adalah apa yang tidak pernah terbayang olehku sebelumnya.”
Dalam jarak di antara dirinya dan Jeno, Renjun bisa mendengar dengan jelas suaranya yang sedang memulai cerita. Oh, lihatlah gurat kebahagiaan di mata Jeno, seakan menarik Renjun untuk tersenyum juga sekarang.
“Beberapa kali aku pernah untuk bunuh diri disini.”
“Hey!” Renjun menyela dengan nada tidak suka. Ia memperhatikan Jeno yang sudah tak menatapnya, melainkan memandang lurus pada hamparan sungai yang luas nan dalam di bawah jembatan ini.
“Paman terus memintaku untuk mati, tapi aku tidak pernah melakukannya karena aku memikirkan banyak hal. Kakek Lee, keluargaku yang belum pernah aku tahu siapa mereka, dan juga dirimu.”
Renjun terdiam. Aku?
“Tapi Tuhan benar-benar baik dan adil padaku. Disaat aku menyerah, aku justru menemukan mereka. Sekarang, aku tahu rasanya pergi jalan-jalan dengan kakakku, aku tahu rasanya di marahi oleh ayahku, dan aku tahu rasanya di peluk oleh ibuku.”
“Semuanya… karena kau selalu ada untukku setiap aku terjatuh.” Jeno kembali membalik tubuh untuk bertatapan mata dengan Renjun. “Aku tahu, mungkin kau telah menganggapku berubah sejak aku menemukan keluargaku. Tapi, kau masih ingat tentang janjiku waktu itu, kan?”
Renjun tetap diam. Ia tidak mungkin lupa dengan janji Jeno yang satu itu. Justru, Renjun sangat berharap Jeno akan membahasnya hari ini.
Senyum Jeno terukir, membuat kedua matanya menyipit membentuk bulan sabit yang tampan. “Aku Jung Jeno.” Lalu, tangan kanannya terulur, meminta Renjun untuk menggenggamnya.
Tanpa sadar, air mata Renjun turun. Kenapa ia bahagia sekali mendengar Jeno telah menemukan jati dirinya? Dengan marga baru yang seharusnya sejak lahir ada di depan namanya, Jeno terlihat semakin bahagia, Renjun tahu itu.