I Wish A Miracle
.
.
.
<Prolog>
.
“I will find you with the miracle that I have.”
.
.
.
“ANAK BODOH!”
Satu teriakan lantang penuh amarah dari seorang laki-laki yang sudah tidak lagi terlihat muda terdengar memenuhi sebuah rumah berpencahayaan minim. Ia menyalak galak, terlihat marah pada seorang remaja yang ketakutan di depannya.
“Apa dosa yang pernah aku lakukan di masa lalu sampai aku harus hidup menanggung beban seperti dirimu, keparat! Kau… iya, kau… pembawa sial. Kenapa kau masih bernafas sampai sekarang, hah?! Kenapa kau tidak pergi dari hidupku? DASAR ANAK SIAL!”
Setelah kalimat laknat itu keluar dengan begitu lancarnya―yang tidak seharusnya ia katakan pada seorang remaja di bawah umur, kakinya melayang untuk melakukan kekerasan fisik pada tubuh kecil remaja tersebut. Menendanginya tepat di perut dan lengan, kemudian memukulnya berkali-kali sampai membuat anak itu menangis lirih.
“A―ampun, paman… ini sakiiitt.”
“Apa? Sakit, kau bilang?! Aku yang seharusnya merasa sakit karena kau adalah beban yang benar-benar membuat hidupku penuh dengan kekacauan!!!”
Setelah suara lantang dengan segala sumpah serapah itu terucap, suara pukulan kembali terdengar, bersahutan dengan suara mengerang dan tangisan remaja yang menjadi korbannya.
“Dan… apa? Paman? Aku bahkan tidak pernah sudi menjadi pamanmu!”
Di sumpahi segera mati, di kasari dengan cara seperti itu sudah menjadi makanannya sehari-hari. Remaja itu tumbuh dalam kekerasan dan ketakutan yang luar biasa. Seluruh tubuh membiru akibat pukulan dan tendangan sang paman sudah biasa di dapatkannya.
Sakit? Iya, itu yang di rasakannya. Tapi ia tidak bisa mengeluh, karena jika ia melakukannya, maka hal yang lebih buruk dari ini akan di dapatkannya.
“P…paman… uhuk, s―sakit… ampuni aku…” Tubuhnya sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Mati rasa. Hingga kini ia hanya tergolek di bawah kaki seseorang yang di sebutnya sebagai ‘paman’.
Orang itu berhenti, menarik nafas dalam sebelum memberikan satu tendangan terakhir yang membuat remaja itu mengerang sambil mengeluarkan air mata.
“Mati saja kau, Lee Jeno!” Ia berucap sebelum pergi meninggalkan remaja itu sendirian dalam kegelapan.
Lee Jeno―nama remaja itu.
.
.
.
.
.
“Eomma, bekalku hari ini apa?”
Seorang laki-laki tampan melangkah masuk ke ruang makan dengan tas ransel yang menggantung di bahu kiri. Dasi sekolahnya belum terpasang, malah berada di genggamannya dan tetap melangkah santai mendekati ibunya yang masih sibuk dengan kotak bekal.
“Udang goreng tepung, salad sayur, jus tomat.” Ibunya―Kim Doyoung membalik tubuh dan tersenyum pada putranya. “Kau suka?”
Anak laki-laki itu mengangguk dengan antusias. “Eomma paling tahu yang aku suka.” Jawabnya dengan cengiran lebar. “Jadi… bisa pakaikan ini untukku, eomma?” Tangannya terjulur, memperlihatkan dasi sekolahnya pada sang ibu.
Doyoung mendesah. “Ya ampun, kau sudah besar tapi tetap saja meminta eomma melakukan ini setiap pagi.” Terdengar seperti mengomel, tapi putranya itu sangat menyukainya. Anaknya melebarkan senyum saat dasi di tangannya itu telah di rampas ibunya untuk di simpulkan dengan baik di balik lipatan kerah seragam sekolahnya.
“Eomma jjang!”
Doyoung mendengus kecil mendengar pujian itu. Dengan telaten, kedua tangannya bergerak apik menyimpulkan dasi di leher putranya. “Jja, selesai.” Ucapnya, menepuk bahu tegap yang persis dengan bahu milik ayahnya, Jung Jaehyun. “…kau tampan sekali, aigoo.”
“Apakah adikku juga akan setampan aku dan appa jika ia berada disini bersama kita, eomma?”
Ibunya tiba-tiba terdiam. Matanya membulat, tanpa berkedip menatap putranya yang juga sama terdiam setelah tanya itu terlontar.
“Eomma―”
“Tolong jangan membahasnya lagi, Mark.” Doyoung memalingkan wajah. Ia kembali menyibukkan diri dengan bekal sekolah milik Mark yang belum sempat ia selesaikan tadi. “…kita bahkan tidak tahu apakah dia masih hidup atau―tidak.”
“EOMMA! Kenapa berkata seperti itu?”
“Karena pencarian yang ayahmu lakukan tidak pernah membuahkan hasil sampai sekarang!”
Mark melihat dengan jelas bagaimana kedua bahu tegap ibunya bergetar karena menahan tangis. Topik pembicaraan tentang adiknya yang hilang saat hari kelahirannya itu adalah sesuatu yang paling membuat ibunya emosi. Mark sadar, ia telah membuat ibunya sedih dengan bertanya tentang adiknya di pagi hari seperti ini.
“Eomma…” Kedua tangan Mark terbuka, memeluk Doyoung dari belakang. “…maafkan aku.” Lirihnya.
Ibunya diam, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
“Aku hanya rindu padanya. Aku belum pernah melihatnya, jadi…”
“Sudah, Mark. Eomma tidak ingin membahasnya sekarang―”
“Eomma jangan menyerah! Eomma dan appa harus tetap mencarinya sampai ia di temukan. Karena eomma adalah orang yang melahirkannya, jadi eomma tidak boleh berpikiran buruk tentang adikku. Eomma harus yakin, adikku masih hidup dan hidup dengan baik diluar sana. Ya?”
“…”
“…”
“―eomma hampir mati setiap kali memikirkan itu, sayang. Eomma rindu padanya, pada adikmu yang entah dimana sekarang.”
Sungguh, Mark tidak bermaksud membuat pagi ini menjadi suram.
.
.
.
.
.
Prolog ; end.