I Wish A Miracle
.
.
.
<Page Nine>
.
“I will find you with the miracle that I have.”
.
.
.
“Jadi, dimana ayah dan ibumu?” Doyoung bertanya tanpa menatap sepasang manik cantik milik Jeno. Fokusnya jatuh pada apel merah yang sedang ia kupas, kegiatan yang sebelumnya di lakukan oleh Jeno, tapi anak itu terlihat kesulitan melakukannya karena tangannya yang penuh dengan luka.
“Tidak ada.”
“Eoh?” Dahi Doyoung berkerut, mengangkat wajah untuk menatap remaja Lee itu. “Apa maksudnya ‘tidak ada’?”
Jeno tertawa kecil. Ekspresi ibunya Mark itu benar-benar lucu. Terbayang jika sosok itu adalah ibunya, maka Jeno akan menjadi anak yang paling bahagia bersama dengan keluarganya. “Aku bahkan tidak tahu siapa ayah dan ibuku.”
Doyoung benar-benar kehilangan fokus setelah mendengar kalimat Jeno barusan. Ia mengabaikan apel dan pisau di tangannya untuk mendengarkan dengan baik apa yang akan di katakan Jeno setelahnya.
“Aku di buang―mungkin.” Bahunya mengedik tidak yakin. “Aku di temukan oleh kakek Lee di suatu tempat yang kata kakek disana itu sangat dingin dan sepi. Kakek kemudian mengurusku hingga besar dan bahkan memberikanku nama.”
Sepasang mata kelinci Doyoung tiba-tiba memerah, tidak sanggup mendengar cerita seorang remaja di depannya.
“Kakek baik sekali padaku, beliau menyekolahkanku dan membiayai semua kebutuhanku. Kakek bilang, aku harus menjadi anak pintar dan menemukan keluargaku suatu hari nanti.”
Perasaannya saja atau bagaimana, tapi melihat mata Jeno mengingatkan Doyoung pada sepasang mata milik Jaehyun. Ada sedikit kemiripan wajah dengan Mark juga disana, tapi yang membuatnya bingung adalah perasaan lega saat berada di dekat Jeno. Seperti ia sangat bahagia dan ingin terus memeluknya tanpa melepaskannya.
“Lalu, lukamu?” Doyoung teringat ucapan Mark waktu itu, luka yang Jeno miliki selalu baru setiap harinya. Matanya melirik pada luka-luka di tubuh anak itu.
Tawa hambarnya kembali terdengar. “Ini dari paman.”
“Paman?”
Jeno mengangguk. “Iya, paman adalah satu-satunya putra kakek. Setelah kakek meninggal, paman sering memukulku.” Ia berkata santai, seolah semua itu bukanlah hal sulit dan dirinya baik-baik saja. “Mungkin paman kesal karena kakek selalu memperhatikanku, menyekolahkanku, membiayai keperluanku. Aku menghabiskan banyak uang kakek, padahal itu seharusnya uang untuk paman.”
Doyoung mengerutkan dahinya tidak setuju dengan gagasan Jeno. “Tapi tidak harus sampai melakukan hal kasar padamu!” Tiba-tiba saja, ia mengeraskan suaranya tanpa sadar. “Sudah berapa lama dia melakukannya padamu, huh?”
“Dua… tahun? Iya, kakek meninggal dua tahun lalu.”
“Kau harus melaporkannya! Kau juga harus mendapatkan keadilan dan hakmu. Kau masih di bawah umur dan kekerasan yang kau alami adalah hal yang tidak seharusnya kau dapatkan.” Tangannya terkepal, air wajahnya mengeras. “Pamanmu itu harus mendapatkan hukuman untuk apa yang telah dia lakukan padamu.”