Bagian 2

119 19 0
                                    

Selamat membaca!

**

Ririn terbangun dari tidurnya. Ia sangat merasa lelah. Oleh karena itu, setelah sesampainya di rumah, ia langsung menuju kamar. Merapikan diri, dan beristirahat. Tidak peduli meskipun tertidur dalam keadaan perut yang kosong sekalipun. Karena, yang ia butuhkan hanya tidur dengan nyaman di atas kasur.

Dan sekarang, rasa lapar sungguh menyerangnya. Ririn memilih untuk turun dan menuju dapur.

Siapa tau, ada makanan, batin Ririn.

Benar saja, Ririn menemukan semangkuk sup bening dan beberapa potong tahu di bawah tudung saji. Sepertinya Bi Asih--ART di rumahnya tidak memasak banyak hari ini. Dengan malas, akhirnya ia memilih untuk menyantap menu itu, tanpa menghangatkannya terlebih dulu.

Setelah selesai makan, Ririn kembali ke kamar dan meraih ponsel yang tergeletak begitu saja di meja belajar. Ia segera membuka, menyalakan data dan setelah itu, muncul beberapa notifikasi dari grup kelasnya.

Ririn mulai membaca satu-persatu pesan yang dikirimkan oleh teman-temannya itu. Sampai Ririn dibuat tertawa oleh kelakuan mereka yang sedikit absurd, walaupun hanya berupa pesan. Sekarang ia merasa puas, teman-temannya itu tidak membosankan.

Ririn tersadar, dalam pesan grup itu ada yang menyebut dirinya, agar menyimpan balik nomor mereka. Dan Ririn lupa, ia belum menyimpan nomor teman-teman satu kelasnya, selain Diva dan juga Hofifah.

Bagaimana dengan Jajang? Setelah Ririn tanyakan, ternyata Jajang tidak memiliki ponsel. Sebenarnya Ririn merasa kasihan kepada Jajang. Rasanya Ririn sangat ingin sekali membantunya. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Mata Ririn tertuju pada jumlah anggota di grup.

"Kok, cuma 25 orang, sih?" Tanyanya pada diri sendiri. Pasalnya, jumlah murid yang ada di kelas X-2 adalah 27 orang, minus Jajang yang tidak bergabung di grup. Namun jumlahnya sekarang hanya 25, harusnya 26. Siapa yang tidak bergabung di grup?

Memilih untuk tidak menghiraukannya, akhirnya Ririn menutup room chat dari grup tersebut.

Ririn berbaring, terlentang. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Pikiran Ririn mulai menerawang, apa yang telah terjadi hari ini? Semuanya sungguh membuat dirinya merasa hidup dengan monoton.

Sekolah, yang tidak jauh dengan teman. Dan rumah, yang tidak jauh dari seorang Ayah.

Ngomong-ngomong soal teman, Ririn jadi teringat dengan cowok yang meminjam pulpen miliknya dan belum dikembalikan lagi. Ririn belum tahu siapa namanya. Kelihatannya cowok itu baik, dan ramah.

Ririn terkekeh sendiri, kenapa ia jadi suka menilai seseorang?

**

Pagi ini, Ririn dikejutkan dengan kondisi kelas yang berisik. Entah karena apa, yang pasti hanya satu penyebab.

Mereka belum mengerjakan PR.

"Rin, lo udah ngerjain PR kimia belum?" Tanya salah satu teman cowok, yang Ririn ketahui bernama Dea.

Ririn mengerjapkan matanya, "Emang sekarang ada mata pelajarannya, ya?"

Dea menghembuskan nafasnya, "Ada, Rin. Adaaaaaa," ujarnya dengan greget.

Ririn tertawa, ia suka dengan raut panik yang terpatri di wajah Dea. Akhirnya ia mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya.

"Kalo mau nyontek, lain kali nggak perlu pakai basa-basi. Buang-buang waktu yang ada," ujar Ririn.

Tangan Dea menerima dengan senang hati, kala Ririn memberikan buku itu kepadanya.

"Gue nggak nyontek, gue cuma mau lihat," jawab Dea beralasan.

Sebelah alis Ririn terangkat, "Lihat, tapi disalin ke buku lo, itu sih sama aja, namanya nyontek!"

"Ada-ada aja, sih. Masa gitu aja kamu nggak tahu, Dey," timpal Hofifah kepada Dea.

"Berisik!" Katanya, seraya berjalan kembali ke tempat duduknya.

Akhirnya Ririn memilih untuk segera duduk di tempatnya. Posisi duduk yang ternyata masih seperti sebelumnya, membentuk letter U.

Saat Ririn hendak duduk di bangkunya, ternyata bangku itu sudah ada yang mengisi. Seorang anak cowok, yang kemarin meminjam pulpen padanya.

Ririn ragu untuk menegur anak cowok itu. Karena ia belum mengetahui namanya. Tidak sopan juga, jika ia memanggil cowok itu dengan kata-kata lain. Seperti; heh, misalnya?

Tanpa Ririn sadari, cowok itu menatap ke arahnya.

"Ah, sorry. Lo mau duduk ya?" Tanyanya kepada Ririn.

Ririn hanya tersenyum, seraya menganggukan kepala.

Akhirnya cowok itu bangkit, "Sorry ya, gue habis nyalin PR dari Jajang. Ya nggak, Jang?"

Jajang hanya mengangguk kaku.

"Nggak apa-apa, kok. Santai aja," jawab Ririn.

Anak cowok itu mengangguk. Dengan tiba-tiba ia mengulurkan tangannya, "Kenalin, gue Ardian Hasbi. Lo bisa panggil gue Abi," ujarnya. "Gue tau, lo kaget. Kita udah hampir satu bulan sekelas. Tapi belum saling kenal. Lo, Ririn 'kan?"

Lagi-lagi Ririn tersenyum dan menerima uluran tangan Abi, "Iya, gue Ririn."

"Gue tau, lo cewek yang minjemin pulpen ke gue. Tapi sayangnya, pulpen lo, lupa gue bawa, ada di tas yang satunya," ujar Abi.

Ririn tertawa, "Ya ampun, santai aja kali, terlalu dipikirin amat."

Sekarang Ririn tau nama cowok itu adalah Abi.

Entah apa yang Ririn rasakan dalam dirinya. Namun Ririn merasa, bahwa Abi merupakan anak yang baik.

**

Terimakasih sudah membaca, jangan lupa dukungannya.
Terima kasih :)

TBC

#GrasindoStoryInc

About Him, AbiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang