Happy reading!
**
Banyak orang yang menyangka aku selalu senang. Padahal aku kesepian.
**
Saat terbangun, hal yang pertama kali Ririn rasakan adalah wangi obat-obatan yang menerpa hidungnya. Gadis itu mengerjapkan mata, berusaha membukanya secara perlahan.
"Alhamdulillah, kamu udah sadar," syukur Ayahnya.
"Ririn, haus..." ujarnya serak. Ia tidak menggubris perkataan sang Ayah sebelumnya.
Mendengar keinginan Ririn, Ayahnya langsung mengambilkan air yang ada di nakas, samping ranjang pasien, lalu menyodorkan ke arah gadis kecilnya.
Ririn menerimanya, dan segera meminum sampai tandas.
"Ririn kok bisa di sini sih, Yah?" tanya Ririn pada Ayahnya. Saat ia menyadari, sekarang dirinya berada di rumah sakit.
"Kamu pingsan waktu lagi kelompok. Ayah 'kan pernah bilang, nggak usah mikirin apa-apa, nggak usah kecapean kalau emang kamu lagi sakit."
"Ririn ngerasa kuat, Yah! Lagian Ririn juga nggak bakalan tau, kalau ujungnya bakalan sampe ke sini."
"Kamu itu selalu buat Ayah khawatir! Sekarang, Ayah sampe harus ninggalin kerjaan di kantor gara-gara Bi Asih nelepon, kalo kamu drop lagi."
Mendengar perkataan Ayahnya barusan, membuat Ririn menatap ke arah Ayahnya dengan tidak percaya. Jadi, Ayahnya lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan anaknya yang sedang sakit?
"Ayah lebih mementingkan pekerjaan? Kenapa sekarang Ayah jadi begini?! Dulu Ayah selalu menomorsatukan Ririn."
Mendengar ujaran anaknya, Ayah Ririn merasa sangat bersalah. Ia segera memeluk erat putrinya.
"Ayah minta maaf. Bukannya Ayah menomorduakan kamu. Tapi di perusahaan lagi ada masalah, Ayah bener-bener pusing. Maafin Ayah, kalo kamu ngerasa begitu. Ayah berusaha nyari uang buat kamu, supaya kamu tercukupi dan nggak kekurangan apapun."
Mendengar perkataan Ayahnya, Ririn hanya bisa menangis. Semenjak Ibunya meninggal, semua kebutuhan gadis itu memang diurus oleh Ayahnya. Sebelum kedatangan asisten rumah tangga.
Ririn melepaskan pelukan dari dekapan Ayahnya. Mengusap sisa-sisa air mata yang menggenang.
"Siapa yang bawa Ririn ke sini, Yah?" tanya Ririn. Ia baru menyadari hal itu.
Ayahnya terlihat berpikir. Berusaha mengingat siapa yang telah mengantarkan putrinya ke sini.
"Ayah lupa namanya. Dia anak yang baik pokoknya. Ayah suka sama dia. Seru diajak bercanda," ujarnya disertai gelak tawa di akhir.
Ririn mengerutkan keningnya, "Cewek?"
"Not! Dia laki-laki. Kayaknya teman sekelas kamu."
Bukan cewek dan teman sekelasnya? Siapa?
"Ah, mungkin Lintang! Gue harus bilang terima kasih sama dia."
**
Sudah dua hari Ririn berada di rumah sakit. Dan di hari ketiga ini, ia diperbolehkan pulang oleh dokter. Gadis itu merasa senang bukan main. Akhirnya ia bisa pulang. Ia tidak akan mencium bau obat-obatan yang sangat menyengat hidungnya lagi. Ia pun tidak akan memakan makanan rumah sakit yang hambar, tidak ada rasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Him, Abi
Fiksi RemajaApa yang tidak Ririn tau tentang Abi? Teman sekolah satu angkatan, satu ekstrakulikuler, satu kelas. Semua tentang Abi, Ririn mengetahuinya. Berawal dari kejahilan Abi, Ririn awalnya membenci dan lebih tepatnya tidak menyukai cara bersikap cowok it...