Bagian 5 (C)

79 8 6
                                    

Selamat membaca!

**

Yakin lo benci sama gue?
Lo nggak inget sama hukum alam yang selalu bilang, kalo cinta dan benci itu beda tipis. Kaya rasa benci lo ke gue, besok-besok berubah jadi rasa cinta.

-Ardian Hasbi

**

"Rin, kalo lo pusing, kita pulang aja. Sisa tugasnya biarin, ada Jajang sama Vina yang ngerjain," ajak Lintang. Sedari tadi ia malah berusaha membujuk Ririn agar mau pulang. Padahal gadis itu sendiri tidak mau pulang.

"I-iya, Rin. Be-bener kata Lintang. Lo pulang aja."

Mendengar perkataan Jajang yang mendukung Lintang, gadis itu mendelikkan matanya ke arah Jajang, agar terdiam.

"Lo pulang aja. Kelompok gue juga dapat banyak tanah liatnya, lumayanlah buat dibagi dua," ujar seseorang berdiri di samping Ririn.

Ririn mendongakkan kepalanya berusaha melihat orang itu. Walaupun tidak dilihat, sebenarnya Ririn sudah tahu dia itu siapa. Tapi ia rasa, tidak sopan bila ada yang berbicara namun tidak diperhatikan. Apa itu hanya alasan Ririn saja? Agar bisa melihat wajah Abi.

Ririn melihat ke arah Abi yang berdiri, membuat Ririn harus menutupi sinar matahari yang menerpa wajahnya, agar bisa berinteraksi dengan cowok itu.

"Segitunya banget ya lo, sampe harus ngehalau sinar matahari biar bisa ngeliat wajah ganteng gue," kata Abi.

"Percaya diri banget sih, lo! Ini karena panas keles, bukan karena mau ngeliat wajah lo," dengan segera, Ririn kembali pada posisi semula. Mulai menggali tanah liat, agar tidak perlu melihat wajah tengil Abi lagi.

Setengil apapun Abi, anehnya, Ririn selalu ingin melihatnya.

"Gue benci sama dia, kalo gilanya lagi kumat!" gerutu Ririn dengan gumaman.

"Yakin lo benci sama gue? Lo nggak inget sama hukum alam yang selalu bilang, kalo cinta dan benci itu beda tipis. Kaya rasa benci lo ke gue, besok-besok berubah jadi rasa cinta," bisik Abi yang tiba-tiba sudah berjongkok di samping Ririn. Membuat gadis itu melotot kaget.

"Apaan sih?! Yang kaya gitu aja dipercaya."

Abi hanya tertawa, dan ia kembali berjalan menghampiri temannya yang lain. Sedangkan Ririn menerka-nerka, apa maksud dari perkataan Abi tadi? Sungguh, ia sangat membenci Abi yang selalu bersikap tengil dan mudah bercanda dengan siapa saja. Apalagi ke teman perempuannya. Ia sedikit takut, jika Abi berlaku seperti itu kepada semua orang. Di saat perasaan Ririn merasa tepat pada Abi. Bukannya Ririn menghalangi Abi untuk bergaul. Tapi entah mengapa, ia merasa tidak ingin berbagi.

Di saat pikirannya melayang-layang. Ririn merasakan ponsel di sakunya bergetar, menandakan ada panggilan masuk. Dengan segera, Ririn menjauh dari teman-temannya. Ia berjalan menuju sungai untuk mencuci tangan dan mengangkat panggilan di ponselnya, yang ternyata dari sang Ayah.

"Assalamualaikum ... hallo, Ayah?"

"Waalaikumsalam ... sayang, tadi Ayah pulang, tapi kamu nggak ada di rumah. Kata Bi Asih kamu sakit? Kok malah kelompok?"

Mendengar penuturan Ayahnya Ririn hanya menghela nafas, "Ririn ngerasa udah baikkan. Ayah nggak usah khawatir."

"Iya, selama kamu ada teman, Ayah ngerasa lega. Oh iya, nanti malam Ayah lembur lagi. Banyak kerjaan yang harus Ayah urus."

"Lagi?" tanya Ririn dengan parau. Bahkan di saat gadis itu sakit, Ayahnya lebih mementingkan pekerjaannya.

"I'm sorry, sweetheart. Pihak perusahaan bakalan ngadain acara liburan di Jogja, akhir bulan. Makanya seluruh karyawan harus segera menyelesaikan pekerjaannya."

"Ririn tau itu," jawab Ririn. Segumpal sesak mengumpul di dadanya.

"Nanti pas acara liburan ke Jogja, Ayah bakalan ajak kamu ke sana," bujuk sang Ayah dari seberang sana. "Ayah tutup ya, kamu baik-baik di rumah. Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam..."

Setelah panggilan terputus, Ririn memandangi ponselnya. Hampir selama 720 jam, namun bisa dihitung menggunakan jari, berapa kali Ayahnya berada di rumah selama 24 jam, full time untuknya.

Tidak ingin memikirkan apapun. Gadis itu segera berjalan kembali menghampiri teman-temannya. Sebelum meraih kayu yang digunakan untuk menggali tanah liat, sayup-sayup Ririn mendengar obrolan seru seseorang.

"Lo tau nggak, bidadari di surga hilang satu."

"Lo ngomong apa sih, masa iya hilang satu. Ngaco!"

"Eh gue serius kali. Soalnya bidadari itu kabur dari surga, dan sekarang ada di hadapan gue."

"Gombal banget sih lo. Nggak mempan tau, Bi!"

Ririn tau suara siapa. Abi dan Syfa. Apa sekarang mereka dekat?

"Gue bagi nomor HP lo, dong," terdengar kembali suara Abi yang meminta nomor ponsel Syfa. Semua itu membuat Ririn yakin, Abi memang bersikap demikian berlaku pada semua orang. Bukan hanya kepada dirinya saja.

Karena merasa sesak dengan semuanya. Ayahnya, Abi, tugas sekolah, akhirnya Ririn memilih untuk menyudahi semuanya, dan pergi pulang.

Ririn segera bangkit dan hendak menghampiri Lintang yang sedang menggali tanah liat berdua bersama Jajang. Agak jauh dari tempatnya dan Vina.

Namun, belum sampai Ririn melangkah, kepalanya terasa berat, pandangannya terasa kabur, ia rasa semua yang terlihat seperti bergoyang tidak beraturan. Tangannya berusaha mencari tumpuan, tapi tidak berhasil ia temukan.

Hingga akhirnya ia terjatuh, pingsan.

**

#TBC

Jangan lupa vote dan sarannya! Terima kasih :)

About Him, AbiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang