Chapter Duapuluh Tujuh

6.6K 522 17
                                    

Sekeping hatiku hilang. Jika diibaratkan, akan semakin hancur bila tak disatukan dengan kepingan satunya. Itulah hidupku. // Aska;

👀

"Aska gimana keadaan kamu, bang?" tanya mama dengan khawatir. Ia sedih. Melihat Aska seperti itu sedih. Tatapan mata yang tak berarah dan tanpa adanya kehidupan. Seperti ada yang hilang, setengah hatinya pergi entah kemana.

Mama mengelus kepala Aska sayang. Mencium kedua pipinya dengan harapan bahwa anak kesayangannya segera pulih dan sembuh.

Karena bagaimana pun mamah mengerti. Sangat mengerti bahwa bila ia tak bersama suaminya pun rasanya akan sama. Tak punya arah tujuan. Namun untuk Aska, mama hanya ingin segera Aska pulih dan berjuang mencari cinta sejatinya.

Hati seorang ibu mana yang tak tega melihat anaknya seperti keadaan Aska saat ini. Mama ingin menangis namun ia tahan. Mendengar pertama kali kabar bahwa Aska mengalami penikaman oleh orang yang tak dikenal membuat mama hampir saja pingsan. Begitu lemas. Kabar tersebut begitu mengambil sebagian bahkan hampir seluruh tenaganya. Berdiri pun rasanya tak kuat.

"Bang makan dulu yah?" Mama mencoba untuk menyuapi Aska karena Aska sama sekali belum makan. Mungkin lebih tepatnya bahwa Aska tak nafsu makan.

"Ma.." Aska menggeleng menandakan bahwa ia tak mau makan. Dan mama hanya bisa pasrah. Dipaksa pun malah akan bertambah parah. Aska memunggungi mamah lalu menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

Papa datang dari arah belakang. Mengajak mama untuk pulang karena hari sudah menjelang malam dan Cipa juga Ucup sudah menunggu di rumah. Papa juga sudah menyuruh seseorang untuk menemani Aska sementara sebelum papa kembali setelah mengantar mama.

"Yang, pulang dulu." Papa mengajak mama untuk pulang. Tentu mama menggeleng. Ia khawatir akan keadaan Aska. Namun papa mencoba meyakinkan mama bahwa Aska akan baik-baik saja.

"Kamu istirahat dulu, kasian anak-anak di rumah nungguin. Biar asisten papa yang jagain," mama tak bisa menolak. Mama mengerti bahwa ada anaknya yang di rumah tengah menantinya.

Sebagai penyemangat terakhir sebelum pulang, mama sekali lagi mengelus kepala Aska sayang.

"Abang, besok mama ke sini lagi. Kamu harus cepet pulih yah biar kita bisa cari Syafa bareng-bareng. Ingat, Syafa juga lagi nunggu abang, lho." terakhir, mama mengecup kepala Aska yang terbungkus selimut tersebut. Lalu kini gantian papa yang menepuk pundak Aska kemudian pergi membawa mama yang tak rela meninggalkan Aska sendiri di rumah sakit.

👀

Tak ada yang tahu. Aska sedang memejamkan matanya begitu kuat. Menahan segala rasa yang menggunung di hatinya. Aska menangis sedih. Pilu. Itu yang Aska rasakan saat ini.

Sengaja ia tutup dengan selimut. Ia tak mampu bila melihat wajah mama yang begitu sedih menatapnya. Tak henti menyemangatinya. Memberikan segala kasih sayang tanpa henti. Namun Aska juga tak bisa berbuat apa-apa ketika satu kakinya tak berfungsi, karena kehilangan Syafa membuat satu kakinya tak berfungsi. Ia tak bisa berjalan. Pincang. Begitu lah ibaratnya hidup Aska.

Pintu tiba-tiba terbuka dengan sangat kencang. Dengan muncul sosok yang menggebu-gebu. Seluruh aliran darahnya telah naik mendidih di otaknya hingga untuk berpikir rasanya mustahil.

"Aska!" Teriaknya. Menarik paksa selimut yang menutupi Aska, sosok tersebut pun menarik Aska hingga ia duduk di atas bangsal.

"Mana Syafa? Hah!" Aska diam. Ia tak bisa menjawab. Karena ia benar-benar tak tahu di mana keberadaan Syafa sekarang.

"Kenapa gak jawab, hah!" Menampar. Sosok tersebut yang tak lain adalah ayah kandung Syafa menampar sangat keras.

"Saya kecewa. Kamu bukan laki-laki yang pantas untuk anak saya." ucapan tersebut menyentuh ulu hatinya. Ia menunduk.

Benar. Apa yang pak Brata katakan benar. Ia tak pantas untuk Syafa. Tak berguna. Sampai datang seseorang melerai, Aska terselamatkan dari tamparan maut kedua.

"Tenang, tenang." Lerai seseorang yang baru hadir tersebut.

"Siapa kamu!"

"Ada urusan apa anda menanyakan itu?"

"Jansen." Aska mengingatkan. Sedang serius seperti ini, Jansen memang tak tahu kondisi.

"Lebih baik bapak simpan amarahnya dan cari solusi bersama. Aska juga menjadi korban di sini." jelas Jansen.

Pak Brata menatap tak suka akan keputusan yang Jansen lontarkan. Menghela nafas dengan kasar, pak Brata menegaskan. "Saya tak akan tinggal diam jika terjadi sesuatu pada Syafa." Setelah mengatakan itu pak Brata pergi dengan sisa amarahnya. Jansen menghela nafasnya perlahan.

"Bro?" Aska menoleh menatap Jansen.

"Lo masih...waras, kan?" Aska mendengkus. Ia menjitak kepala Jansen geram. Dia pikir Aska gila apa.

👀

"Sania?" Sosok yang tengah duduk di depan jendela yang terbuka menoleh. Mencoba menatap sosok yang baru saja hadir.

"Dokter?"

"Jangan panggil Dokter, panggil saja Ardan, yah." Sania menggeleng. Ia tak mau memanggil penyelamatnya dengan sebutan nama saja.

"Berapa umurmu?" tanya Dokter Ardan menatap mata Sania.

"Mungkin lebih muda dari Dokter Ardan." Dokter Ardan mengangguk lalu menyimpulkan bahwa Sania kini harus memanggilnya dengan sebutan, "kak Ardan,"

"Kak Ardan?" Sania membeo.

"Yap!" Jawab Dokter Ardan pasti. "Kamu harus panggil saya kak Ardan. Oke?" ucapnya membuat Sania mengangkat alisnya bingung.

"Gak usah bingung gitu, San. Saya juga masih muda, kok." Kak Ardan tertawa di sana.

"Iya kak Ardan." Sania menjawa tanpa raut wajah yang pasti. Dan kak Ardan menghela nafasnya melihat tanggapan Sania yang biasa saja.

"Kalau begitu, saya pergi ke rumah sakit dulu yah. Kalau kamu perlu sesuatu, kamu bisa panggil Bi Ratna." Sania pun hanya menganggukkan kepalanya tanda ia mengerti.

👀

Heyhooo...
Gimana part ini?? Wkwk

Oiya ada yang mau ke gunung putri hari ini? Yuk ketemuan ehehe

Oiya, vote juga comments yak!💚💙

MAS ASKARA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang