[09] Kiara dan Angkasa

14.5K 1.6K 107
                                    

Kiara menatap kertas kecil yang ada berada di tangannya. Masih nomer sepuluh, harus menunggu lima orang lagi baru ia bisa masuk ke ruangan dokter praktek.

Setiap sebulan sekali ia harus ke sini, dan itu sudah sejak empat tahun yang lalu. Tak ada perubahan sama sekali. Semuanya masih stagnan. Dan usahanya tetap Konstan.

Setahun setelah pernikahannya, hidupnya benar-benar berubah. Meski Juan tetap berada di sisinya, tapi akhir-akhir ini Juan berbeda.

Juan tak pernah absen menemaninya ke sini. Sesibuk apapun itu, Juan akan meluangkan waktu untuknya. Apa yang ia minta, Juan selalu menuruti keinginannya.

Hari ini untuk pertama kalinya, ia ke sini tanpa Juan. Ada sisi lain darinya menganggap keabsenan Juan sebagai satu perubahan yang akan terus berkelanjutan.

Kiara takut, jika Juan tak lagi mencintainya.

Jika dulu Biru bisa dibuang begitu saja oleh Juan, tak menutup kemungkinan ia juga akan dibuang oleh Juan.

Kiara belum siap!

Menurutmu? Apa Biru juga siap dibuang oleh Juan, lima tahun yang lalu? Batin Kiara mencemooh.

Biru yang sesempurna itu, bisa dibuang begitu saja. Lalu apa kabar dirinya yang tak sempurna?

Kira mengusap kasar wajahnya. Ia bukan wanita sempurna. Dirinya wanita cacat.

Lima tahun pernikahan, mereka bahkan tak dikarunai seorang anak. Padahal Kiara tahu betul bahwa Juan begitu menginginkan sosok anak kecil di antara mereka. Tapi smapai sekarang Kiara belum mampu memberikannya untuk Juan.

Iya, hanya belum.

Mengambil ponselnya, ia menekan angka satu yang langsung men-dial nomor handphone Juan.

Hingga nada sambung ketiga, Juan tak mengangkat teleponnya. Ini tak seperti Juan biasanya.

Kiara menatap seumuran dengannya yang baru saja keluar dengan suaminya. Wajahnya terlihat suram, tapi lelaki sahnya itu, tersenyun lembut ke arah sak istri. Seolah berkata semuanya akan baik-baik saja.

Ah, ia jadi merindukan Asa,  Angkasanya.

Mungkin Juan sibuk.

Sangat sibuk. Paling tidak itu yang Kiara tahu.

Juan sempat bilang, jika hotel tempat ia bekerja mendapat kebanggaan menjadi tempat resepsi pernikahan putri pak Walikota. Itu sebabnya Juan beberapa hari ini selalu pulang malam.

Tapi Kiara merasakan ada yang berubah pada Juan. Suaminya itu terlihat lebih pendiam dan seolah menghindari dirinya.

Selama lima tahun pernikahan, semua baik-baik saja. Ia tak pernah kekurangan limpahan kasih sayang dan cinta yang Juan berikan.

Kiara tak pernah kekurangan perhatian Juan. Semua terasa pas jika bersama Juan.

"Mommy! Where are you?" jeritan suara anak-anak yang menggema ke seluruh koridor rumah sakit.

Kiara yang sedang duduk mengantri pun menoleh ke asal suara. Pemiliknya adalah seorang anak laki-laki yang tengah duduk di atas kursi roda.

Kiara meringis melihatnya, bocah itu seperti kepayahan dalam menggerakkan roda kursinya. Namun anak lelaki berkacamata itu tetap berusaha, meski dengan isak tangis yang berderai.

Kiara tak sanggup mengabaikan, jadi ia memutuskan bangkit dari tempat duduk antrian, dan menghampirinya. Menekuk lutut agar sejajar dengan anak lelaki tersebut.

"Hai, tampan! Bisa tante bantu?" Kiara mengapai tangan bocah itu.

"A-aunty! Bisakah kau mengantarku pada, Mommy?" Bahkan bicara saja anak lelaki ini masih terbata-bata dan kepayahan mengeluarkan suaranya.

"Tentu! Di mana mommy-mu?" Kiara masih memamerkan senyumannya dan menghapus jejak airmata yang tersisa.

"Aku nggak tahu! Mommy bilang dia ke toilet, tapi sampai sekarang mommy nggak kembali." Jelas anak laki-laki itu.

"Angkasa!"

Seseorang memanggil nama Angkasa, membuat Kiara melonggok ke samping dan mendapati wanita pribumi tengah berlari-lari kecil, menghampiri Kiara dan bocah bernama Angkasa.

Jujur saja, Kiara sedikit heran. Anak lelaki ini lebih memiliki gen orang Eropa daripada gen orang Asia seperti dirinya, tapi bernama Angkasa. Seperti nama suaminya.

Wanita berambut hitam dengan napas tersenggal menghampiri mereka. "Gosh! Angkasa Biru. Mommy cari-cari kamu dari tadi. Bukannya mommy menyuruhmu menunggu?" cecar wanita itu.

Angkasa Biru. Pikiran Kiara langsung tertuju pada sosok mantan sahabatnya juga suaminya.

For god sake.

Itu hanya nama, Ki.

Tapi kenapa Angkasa Biru? Seolah-olah Angkasa dan Biru memang ditakdirkan bersama.

Kiara melirik wanita yang kini tengah mengecup kening bocah bernama Angkasa, kemudian memeriksa keadaannya.

"Maaf! Merepotkan. Biru tak biasa ditinggal sendirian. Tadi aku benar-benar harus ke toilet." jelas wanita berambut hitam—yang ternyata adalah mommy-nya Angkasa Biru.

"Tak apa, aku senang bertemu dengan ... Angkasa atau Biru?" Kiara mencoba menebak siapa nama panggilan si bocah.

"Biru! Kami memanggilnya, Biru," timpalnya. "Aku Elisa, by the way."

"Kia! Panggil saja, Kia." Kiara menjabat tangan Elisa.

"For God sake! Biru! Elis!" Kali ini suara bariton memanggil kedua orang asing yang baru saja Kiara kenal.

"Rich!"

"Daddy!"

Ah, kini Kiara tahu dari mana gen Angkasa Biru berasal. Daddy sang aristokrat.

Pria bule itu bahkan tak segan-segan menunjukkan kemesraan mereka. Khas keluarga harmonis.

Kiara begitu iri dengan pemandangan yang ditunjukan oleh keluaraga Angkasa Biru. Ia juga ingin seperti itu.

Dia, Angkasa, dan anaknya.

"Terima kasih, sudah menemani Biru." Elisa berucap seraya mengenggam tangan Kiara.

"Sama-sama. Semoga kita bisa bertemu kembali."

"Aku juga senang bertemu denganmu, juga mengenalmu. Semoga Tuhan memberkatimu, Kia. Sampai jumpa lagi. Aku harus pergi. Biru akan ngamuk sekali jika aku kelamaan." Elisa melambaikan tangannya.

"Ya, semoga Tuhan juga memberkatimu, dan Biru."

Kiara tak sempat bertanya, penyakit apa yang di idap Biru. Hingga bocah itu harus duduk di kursi roda.

Meskipun begitu, Elisa dan Rich begitu beruntung mempunyai seorang anak di antara mereka.

Tak peduli secacat apa anak tersebut, mereka adalah anugerah yang Tuhan titipkan. Darah lebih kental dari pada air. Seorang anak adalah pelita bagi keluarganya.

"Semoga kalian bahagia." Kiara tulus mendoakan.

"Nyonya Kiara Larasati. Silakan masuk." Seorang Suster membukakan pintu untuknya dan mempersilakan masuk.

Kiara tersenyum hambar, dan memasukinya. Suster menutup daun pintu tersebut yang bertuliskan identitas si dokter.

dr. Gunawan Dwi Sutanto,
SpOG (K) Fer.

✩★✩★✩★✩★

Surabaya, 25/11/2018
—Dean Akhmad—

Blue SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang