Juan benar-benar tak tahu harus berterima kasih atau mengumpat, saat satpam apartemennya menelepon jika ada seorang wanita mendatangi unitnya.
Hanya dia yang tahu, Kiarapun tidak. Unit di lantai delapan belas memang ia beli saat pertama kali Biru menginjakan kaki di Jakarta.
Kiara hanya tahu bahwa ia sudah menjual apartemen yang ia huni sendirian. Bukan bersama Biru.
Jadi, Juan yakin bahwa wanita itu adalah Biru.
Sial! Juan memukul setir mobilnya, ia sudah terjebak macet dari sejam yang lalu. Gedung apartemennya sudah terlihat dari tempatnya sekarang. Hanya tinggal berbelok di perempatan depan, ia sudah sampai di gedung apartemennya.
Mengacak rambutnya, pikiran Juan semakin kusut. Tak mungkin juga ia meninggalkan mobilnya di tengah kemacetan seperti ini.
Memarkirkannya sembarangan, tanpa menyapa satpam biasanya Juan berlari menuju lift.
Juan benar-benar gelisah. Lima tahun ia dikejar rasa bersalahnya, meski setengah hati dalam mencari Biru. Bukan berarti ia hidup dengan tenang.
Ia terburu-buru. Sialnya Juan merasa bahwa kinerja lift yang ia naiki seakan melambat.
Kenapa sedari tadi ia berada di lantai enam. Sedangkan ia harus segera sampai di lantai delapan belas.
Juan menghatamkan kepalan tangannya ke dinding besi sebelahnya, berharap bahwa perasaan gelisahnya hilang.
Tapi sialnya, kegelisahannya tak jua hilang begitu saja.
Juan langsung melesat begitu pintu lift belum terbuka sempurna. Bahu Juan merosot, begitu melihat lorong di sekitar unitnya sepi. Tak ada Biru yang menunggu di depan pintu.
Biru sudah pergi.
Tentu saja, satpam mengabarinya sejam lalu. Tidak mungkin Biru mau menunggu. Sia-sia sudah ia berada di sini.
Dengan wajah tertekuk, Juan membuka pintu berisikan tanggal lahir Biru sebagai passwordnya.
Mata Juan terbelalak tak percaya, mendapati sepasang sepatu heels dua belas sentimenter bertengger tepat di samping rak sepatu.
Mendadak tubuh Juan membeku. Mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru apartemen, ia tak menemukan keberadaan Biru.
Napasnya kembali memburu, itu artinya Biru ada di kamar mereka. Terburu-buru melepas sepatu pantofelnya, Juan setengah berlari menuju kamar hingga ia sedikit terpeleset kaos kakinya sendiri, karena lantai yang terasa licin. Tapi masih bisa menguasai diri.
Juan membanting daun pintu hingga terbanting membentur dinding di belakangnya.
Tatapan matanya bersirobok dengan mata hijau di seberang sana.
Kali ini Juan tak lagi bisa menyembunyikan letupan-letupan di dalam dadanya. Saking terlalu lama ia menahan napas karena tatapan mata dari Biru, napasnya kembali tersengal.
"Ju-Juan."
Astaga! Suara itu. Juan begitu merindukan panggilan itu. Hanya Biru yang memanggilnya Juan.
Dengan langkahnya yang panjang, hanya butuh persekian detik untuk Juan sampai di depan Biru.
Biru masih memandangnya lekat, tanpa suara. Tapi mampu membuat darah Juan mendesir hebat.
Tanpa pikir panjang Juan menarik tangan Biru, menenggelamkan tubuh ramping Biru ke dalam pelukannya.
Jantungnya berdegup kencang tanpa mau dikendalikan, Biru sendiri diam seakan menikmati pelukan darinya.
"Aku kangen kamu, Bi," bisik Juan tepat di telinga Biru.
Juan terlalu larut dalam aroma Biru yang ia rindukan, bahkan tanpa sungkan mengecup tengkuk wanita yang tubuhnya sudah menegang karena tindakan spontannya.
"Aku kangen kamu, Bi." Ulang Juan pelan, semakin mengeratkan pelukannya.
"Akh!" Juan mengadu ketika merasak kakinya berdenyut sakit. "Bi!"
"Stop, Juan! Stop!" Teriak Biru melepaskan lilitan tangan Juan di pinggangnya.
"Seriously, Bi!"
"Kembalikan padaku, Juan." Todong Biru menyodorkan tangannya di depan Juan, tentu setelah ia mundur dua langkah dari Juan.
"Apa?" Juan menaikkan kedua alisnya.
"Aku ke sini hanya ingin mengambil kalung dari orangtuaku."
"Aku tak memilikinya," sahut Juan bersendekap.
Juan melihat pancaran mata Biru yang tak lagi menyiratkan cinta di sana. Hanya ada kebencian dan kehampaan. Bahkan wanita itu tak mau repot-repot memandangnya.
Juan juga mengakui jika Biru yang sekarang jauh berbeda dengan Biru yang dulu.
Skinny jeans dan t-shirt polos di lapisi jaket kulit, membuat Biru mengeluarkan aura dewasa, meski terkesan gotik dengan gelang hitam berbahan kulit bertengger di tangannya.
Biru mendengus keras, dan berlalu melewatinya begitu saja tanpa basa-basi.
Juan terperangah. Ia tak menyangka Biru akan bersikap seperti itu.
"Bi, tunggu!" Seru Juan menarik lengan Biru. "Aku belum selesai bicara."
Juan merasakan sentakan keras. "Tapi aku sudah selesai."
"Not yet, Bi."
"Yes, we are! Kita selesai saat kamu mencampakkanku di toilet lima tahun yang lalu."
Juan merasakan dadanya nyeri. Ya ... lima tahun yang lalu, dengan tanpa rasa bersalah ia meninggalkan Biru, terkapar sendirian tanpa ada yang menolongnya. Dan kesalahannya itu lah yang selalu membuat Juan hidup tak tenang.
"Di mana kamu saat aku membutuhkanmu? Aku menghibah padamu, Juan. Juga memohon agar kamu nggak pergi dari aku. Tapi kamu lebih milih keparat itu dari pada aku!" teriak Biru memuntahkan semuanya.
"Kiara bukan keparat, Bi. Dia istriku!" Juan ikut berteriak. Ia tak suka Biru mengatai Kiara seperti itu. Tapi ia juga tak suka melihat setitik airmata yang belum sepenuhnya jatuh, dan langsung disapu kasar oleh tangan Biru.
"Ya, sahabat yang menusukku dari belakang. Kalian berdua menusukku dari belakang."
Juan mematung. Sahabat! Jadi ... Kiara adalah sahabat Biru. Kenapa ia baru mengetahuinya sekarang. Pantas saja ia begitu cepat akrab dengan Kiara, meski pertama kali mereka bertemu dulu. Kiara seakan tahu siapa dirinya.
Juan benar-benar serasa menemukan soulmate-nya ketika mengenal Kiara, meski hanya tiga bulan. Juan merasa yakin bahwa Kiara adalah wanita yang tepat. Kiara yang polos dan ceria. Dan Juan jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Kiara.
Blam!
Suara debuman pintu, membuyarkan lamunan Juan.
Juan hanya berdiri di tempatnya, tanpa beranjak. Memandangi ruangan kosong bekas Biru berdiri.
Biru sudah pergi. Hanya menyisakan aroma parfum vanila yang masih menguar di sekitarnya.
"Aku bahkan belum sempat minta maaf padamu, Bi."
✩★✩★✩★
Surabaya, 16/11/2018
-Dean Akhmad-
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Sky
General FictionKecemburuan Biru berubah menjadi iri, lalu kemudian beralih menjadi kebencian. Ia cuma ingin diakui oleh Juan. Satu kesalahan membuat dirinya ditinggalkan Juan dan kehilangan lelaki yang sudah menjadi separuh hidupnya. Jika saja ia bisa memilih, Bi...