"Nikah yuk, Neng!" ajak Lintar yang mendapat pelototan dari Biru.
"Kamu gila, Lin!"
"Gila gara-gara kamu, Neng!" Kekeh Lintar kemudian menyedot es kopinya yang berada dalam gelas plastik label Starbucks.
"Nggak segampang itu, Lin." Biru mengalihkan matanya keluar jendela kaca.
"Apanya? Soal usia atau masa lalu kamu?" Biru menolehkan kepalanya cepat.
"Lin-"
"Aku nggak peduli, Neng. Itu masa lalu kamu. Nggak ada urusan sama aku. Terus aku kudu cemburu sama masa lalumu?"
Ok. Kali ini Biru agak ngeri mendapati reaksi Lintar yang begitu santainya. Terlebih mengubah panggilan yang biasanya gue-elo jadi aku-kamu.
"Aku anak di luar nikah, Neng. Bahkan ibuku sendiri rela membuangku di bak sampah begitu aku dilahirkan."
Terhenyak, Biru menoleh cepat ke arah Lintar, mendapati tatapan kosong pria bermata sipit itu tengah menekuri susana gerimis di luar jendela.
Biru tak tahu harus apa. Bagaimana cara Menenangkan pria lebih muda darinya ini.
Biru kembali menyesap minuman hangatnya, dan meletakkannya kembali. "Gimana ceritanya kamu kenal sama Richard dan mbak Elisa?"
"Simple sih. Gue kecopetan, ditolongin mas Richard, lalu dikasih kerjaan juga begitu tau gue mahasiswa perantauan." Balik lagi aksen gue-elo milik lintar.
"Mereka emang terlalu baik," bisik Biru menyesap minumannya.
"Saking baiknya, gue bahkan rela ngasih mereka apa yg diminta. Tanpa mas Richard gue nggak akan pernah bisa survive di negeri orang.
"Sekarang kamu tahu siapa aku, mending kamu jauh-jauh dari aku-"
"Dan ngebiarin elo berjuang sendiri? Nggak akan, Neng. Setelah tau elo mamanya Biru. Gue semakin yakin buat jadiin elo bini gue."
Biru terkekeh mendengar ucapan Lintar. "Nggak semudah itu, Lin. Aku bukan seperti wanita kebanyakan. Aku nggak sesempurna itu."
"Sempurna dalam definisimu apa, Neng?"
"Wanita baik-baik. Bibit, bebet, dan bobotnya jelas. Single, dan masih perawan. Auw-" Biru mengadu kesakitan merasakan dahinya disentil.
"Ck! Kebiasaan banget sih. Gue nggak butuh itu. Elo tinggal iyain aja, maka seumur hidup gue bakalan setia sama elo."
Biru meneguk ludahnya susah payah. Dulu ia begitu menginginkan yang namanya pernikahan dan komitmen.
Akan tetapi, semenjak Juan mencampakkannya ia tak lagi berharap pada suatu hal sakral tersebut. Dirinya merasa minder. Ia bukan wanita baik-baik begitu juga untuk pria baik-baik.
Dan Lintar adalah pria baik-baik itu.
Lintar beranjak dari tempat duduknya dan langsung menarik tangan Biru begitu saja, hingga wanita berambut hijau itu kewalahan mengimbangi langkah lebar Lintar.
"Lin lepasin!" seru Biru berusaha menarik tangannya dari cengkeraman Lintar.
"Ck! Nurut napa sih, Neng," gerutu Lintar yang masih menarik tangan Biru.
Lintar dan Biru kembali ke bangsal VVIP tempat Elisa sedang dirawat pasca melahirkan.
Pemandangan yang tersaji begitu Lintar membuka pintu adalaha Richard yang sedang menggendong putranya, yang sampai sekarang Biru tak tahu siapa namanya.
"Mas, keberatan nggak kalo aku bawa Biru sama mamanya berlibur ke Bali?" tanya Lintar to the point.
Sedangkan Biru hanya melotot tak percaya, mendengar pertanyaan Lintar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Sky
General FictionKecemburuan Biru berubah menjadi iri, lalu kemudian beralih menjadi kebencian. Ia cuma ingin diakui oleh Juan. Satu kesalahan membuat dirinya ditinggalkan Juan dan kehilangan lelaki yang sudah menjadi separuh hidupnya. Jika saja ia bisa memilih, Bi...