1. Trade Quarter

11.7K 697 33
                                    

Cengkeraman kuat yang membuat gagang cangkir tehku tak terlepas agak berlebihan. Sebagai akibatnya, ujung-ujung jariku terasa nyeri hanya karena perbuatan bodoh itu. Tak hanya sampai sana, kepulan asap akibat teh yang masih panas kini memenuhi wajahku, membuatku memejamkan mata beberapa saat hanya untuk menikmati aliran air yang merasuk melalui kerongkonganku. Sisi baiknya, aku bisa menikmati rasa teh celup yang sebenarnya biasa itu dengan lebih baik.

Begitu kembali kuletakkan cangkir teh ke atas meja—membuat hentakan kecil walaupun kurasa tidak ada seorangpun yang mendengarnya kecuali aku—aku bersyukur karena pada akhirnya fasilitas di kantorku sekarang menjadi lebih baik. Setidaknya, sekarang kami memiliki dispenser pada 'ruang penumbalan' yang dapat menghangatkan air dalam kemasan galon. Beberapa instalasi yang diperlukan untuk menunjuang kesejahteraan kami pun akhirnya diberikan. Beberapa ruangan kini telah dipasang oleh pengatur suhu ruangan—termasuk ruanganku. Kini aku tak perlu merasakan baju basah pada musim kemarau dan terpaksa mengibaskan lembaran-lembaran kertas hanya untuk membuatku merasa lebih baik.

Waktu belum berjalan terlalu lama semenjak kasus terbesar terakhirku yang mengungkapkan bahwa beberapa polisi di tempatku—khususnya untuk divisi perampokan—bekerja sama dengan suatu komplotan dan saling berbagi hasil. Tentu, dengan mudahnya para perampok itu berlindung di bawah naungan polisi, membuat mereka dapat melakukan berbagai tindakan sesuka hati, tak perlu takut untuk ditangkap. Ditangkap pun, mereka dapat berkilah dan kembali menuntut perjanjian yang telah mereka sepakati—biarpun aku tak tahu apakah benar-benar ada perjanjian seperti itu atau tidak.

Namun, biarpun aku bilanga 'mengungkapkan', bukan berarti pada akhirnya aku membeberkan seluruh kasus itu pada semua orang, memberikan seluruh daftar tersangka kasus kerja sama dengan para perampok dan membuat mereka semua dipenjara. Hal itu tentu terlalu berbelit untuk dilakukan. Aku tak memiliki jaminan bahwa semua orang dari daftar yang kumiliki telah tercatat. Dalam kasus terburuknya, beberapa orang yang terlepas dari jeratan hukum karena berada di luar daftarku bisa-bisa mengincarku dan malah membahayakan nyawaku sendiri. Jadi, sesuai dengan pendapat temanku—Wijaya—aku tidak mengungkapkan kasus itu, membiarkan orang-orang mengetahuinya. Hingga saat ini, kurasa hanya ada dua orang yang mengetahui kasus itu. Tiga jika seseorang dari luar kepolisian tetap kuanggap.

Aku tahu membiarkan mereka berkeliaran itu berbahaya. Namun, dengan tidak adanya kasus-kasus yang menyangkut hal itu membuatku sedikit lengah. Hari demi hari aku mulai melupakan kejadian-kejadian itu. Kejadian di mana anakku—Loka—mendapatkan luka tembak pada beberapa bagian tubuhnya, kejadian di mana aku bimbang untuk menetapkan lawan maupun kawan—Siapa yang bisa menerka seorang musuh dalam selimut?

Pada akhirnya, aku mencoba untuk tak melupakannya dan berusaha tetap waspada. Aku berinteraksi selayaknya diriku yang dulu—sebelum mengetahui kebobrokan pada kepolisian di wilayahku. Selain itu, kurasa kasus-kasus perampokan pun kian jarang terjadi. Mungkinkah kelompok perampok itu beradu argumen dengan para polisi brengsek yang bekerja sama dengannya karena beberapa orang di antara polisi itu—karena ulahku—mati? Mungkin saja, kan?

Mungkin mereka memutus hubungan karena merasa bekerja sama dengan para polisi sudah tak aman lagi. Dan jika hal itu terjadi, aku akan amat senang.

Di sampingku, Wijaya—rekan kerja terbaikku—tengah memainkan ponselnya, menggeserkan jempol kanannya ke atas, berulang kali, membuatku sebenarnya ingin menggodanya dengan menarik ponsel yang tengah berada dalam genggamannya. Namun, bagian dewasa dalam diriku mengejek tindakan yang tengah berputar di dalam otak.

Tolol, seperti anak kecil saja! Katanya, sehingga entah keajaiban dari mana, aku malah bertanya pada Wijaya.

"Gimana kabar Riska?"

Detektif Roy : Anomali Jeli [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang