14. Krasivo

3K 440 16
                                    

Kalau dia bisa mendapatkan daftar nama-nama polisi korup itu, kenapa tak dia saja yang melaporkannya pada pihak berwenang secara anonim sehingga dia bisa memenjarakan semuanya dan dia tak perlu mengungkapkan identitasnya ke masyarakat luas?

Topik yang satu itu terus terlintas dalam benakku, tentu saja tanpa membuang topik kasus mutilasi pisau jeli dari dalam pikiranku.

Waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari ketika Ibu Maharani meronta-ronta, menyumpahiku, serta menangisi keputusanku yang menentukan nasibnya. Ia sempat mencakar bagian lengan kanan bawahku, membuar guratan tipis berwarna merah akibat darah yang keluar sedikit demi sedikit. Namun, aku berhasil menangkap kedua pergelangan tangan wanita itu, kemudian menguncinya dengan genggaman kuat.

Wijaya keluar meminta bantuan orang-orang yang masih berada di kantor untuk membawa Ibu Maharani masuk ke dalam ruang tahanan sementara. Tentu, bukan perkara mudah untuk melakukan semuanya. Berulang kali Ibu Maharani hampir berhasil mencakarku lagi. Tubuhnya menggeliat bagai kesetanan, bahkan aku harus menggertakkan gigi-gigiku untuk menambah kekuatan cengkraman.

Aku sedikit bersyukur, sih, karena semuanya terjadi ketika orang-orang tengah tidur di atas kasur empuknya masing-masing, tidak sedang berkunjung ke kantor, sehingga aku—dan pastinya Ibu Maharani—tidak menjadi pusat perhatian dengan teriakannya yang kencang itu.

Ibu Maharani hampir menendang kemaluanku saat kedua petugas yang Wijaya panggil menggiringnya, tepat ketika kuserahkan perempuan itu pada mereka.

Rasa kantukku hilang dalam seketika, seolah-olah kejadian itu lebih manjur daripada meminum ratusan cangkir kopi yang katanya dapat membuatku terjaga. Napasku menggebu-gebu karena aku tak pernah beraktivitas seluar biasa ini di malam hari.

Kemudian, dengan cekatan Wijaya segera keluar dari ruang interogasi. Dia berlari kecil setelah memastikan bahwa aku baik-baik saja, baik fisik maupun mental, dan aku tak perlu bertanya ke mana Wijaya akan pergi karena aku tahu betul tujuannya—pasti suami dari Ibu Maharani.

Masih menyesuaikan deru napas dengan detak jantungku, kutadahkan kedua lengan layaknya orang-orang yang hendak berdoa. Namun, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kedua lenganku itu kugerakkan, menempelkan wajah penuh keringan dengan kedua tanganku seraya berkata, "Ya ampun!"

Selesai mengeluh dan berhasil mengatur napas, kuikuti jejak Wijaya, keluar dari ruang interogasi dan mendengarkan teriakan wanita itu yang sedikit tertahan oleh kedapnya dinding-dinding kantor. Gila, gendang telinga dua petugas yang menggiring Ibu Maharani itu tidak pecah apa, ya?

Begitu sampai di depan pintu, dapat kulihat bayangan hitam yang tak begitu jelas muncul di balik kaca mosaik ruanganku. Mungkin Wijaya, mungkin juga suami dari Ibu Maharani, atau malah keduanya. Namu, tanpa berpikir panjang langsung kutarik gagang pintu, membukakan daun pintu dan menampilkan dua sosok laki-laki yang tak asing. Dua-duanya ada di sana, bukan hanya salah satu dari mereka.

Keberadaanku yang begitu menarik perhatian membuat mereka memalingkan wajah, menatapku keheranan. Melihat wajah suami Ibu Maharani yang tampaknya polos, tidak beremosi, dan kebingungan melihatku, kuasumsikan Wijaya belum menceritakan teriakan apa yang mungkin didengar oleh lelaki kurus itu dari ruanganku.

Aku berjalan dengan santai, mengayunkan lengan sebagai isyarat untuk Wijaya melanjutkan apa yang sebelumnya ia lakukan. Kemudian, Wijaya tak membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengonversi gesturku ke dalam kalimat perintah. Sudah kubilang jika aku dan Wijaya memiliki keterikatan sebagai rekan kerja yang kuat, kan?

Wijaya memberitahu lelaki itu secukupnya. Bahkan, benar-benar singkat. Ia hanya berkata, "Maaf, Pak, tapi kami harus menahan Ibu Maharani karena beberapa hal."

Detektif Roy : Anomali Jeli [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang