Ibu Maharani terkesiap, berulang kali ia memalingkan pandangannya dengan harapan aku akan berhenti mengintimidasinya. Namun, hal tersebut mustahil untuk kulakukan. Tatapanku tak pernah terlepas, menyangkut bagai lem yang mengering.
Ibu Maharani semakin gagap, ketakutan, tak tahu apa yang harus dilakukannya, tetapi di saat seperti itulah keraguan mulai muncul dalam benakku. Gerak-gerik yang dilakukan oleh Ibu Maharani tidak tampak seperti seorang pembunuh yang gelisah akan tekananku, lebih seperti 'ia mengetahui sesuatu' tetapi tak dapat mengucapkannya karena sesuatu. Aku tidak bilang tebakanku itu pasti tepat, tetapi asumsi sederhana dari pengalaman-pengalamanku mengatakan demikian—tentu saja bisa salah.
"Bagaimana?" tanyaku, melanjutkan obrolan kami yang terhenti karena tampaknya Ibu Maharani tidak penasaran akan kelanjutan dari cerita ini. Ia tetap bungkam.
"Jika Anda tidak bisa membukti ...."
"Jika seseorang bisa membuktikan bahwa saya tak melakukannya, bagaimana?" Ibu Maharani menyela—akhirnya. Dari nadanya, ia tampak berhasil mengumpulkan seluruh kekuatan untuk menimpali seluruh tuduhanku, yang tentu membuatku tak kalah terkejut darinya. Namun, aku berhasil menyembunyikan ekspresi itu di dalam tubuhku. Aku tak merespon berlebihan, melainkan hanya mencoba meyakinkan bahwa ia tak memberikan omong kosong.
"Bisa Anda tunjukkan sekarang?"
Ibu Maharani gugup bukan main. Gelagatnya menunjukkan jawaban di antara ya dan tidak, membuatku semakin penasaran akan bukti yang diakuinya dapat melepaskan seluruh tuduhan itu padanya. Namun, pada akhirnya ia menyerah pada salah satu jawaban.
"Saya takut," katanya, masih gelagapan di antara suaranya yang lirih. Perempuan itu mulai gemetar, ketakutan, tapi takut karena apa?
Aku yang tidak ingin terbuai dalam kesedihannya masih belum mengubah gestur tubuhku. Dalam kasus ini, aku masih belum dapat melihat kejadian-kejadian yang ada dari sudut pandangnya—mungkin karena aku tak menginginkannya. Jadi, kubiarkan dia bicara lebih lanjut, tentu bukan dengan mempersilakannya, melainkan diam, membiarkan perempuan itu untuk memberikan informasi-informasi yang ia anggap penting.
"Pembicaraan yang kami lakukan minggu lalu bukan hanya karena Sheila dan Shelly yang pendapatannya mulai menurun, pertikaian terjadi di antara mereka," katanya, masih dengan tubuh yang bergetar, persis seperti seseorang yang terkena tremor.
"Sheila dan Shelly berselisih pendapat akan kelanjutan bisnis mereka. Sheila ingin lebih gencar memasarkan produk, sedangkan Shelly memilih untuk membuat produk sendiri."
"Produk sendiri?"
Ibu Maharani mengangguk, membuatku kembali merangkum seluruh informasi yang ada.
Jadi, apakah itu penyebab dua pembelian anomali—bahan mentah, bukan bahan jadi—terdaftar dalam riwayat pembelian mereka?
"Iya," Ibu Maharani mengonfirmasi pertanyaanku atas kalimatnya sendiri.
"Apa Anda memihak salah satu di antara Sheila atau Shelly?"
"Saya tidak ingin terlibat, saya hanya bilang saya akan membantu mereka—selama bukan untuk menjual produk—apapun pilihannya."
"Apa mereka bilang ke mana mereka akan pergi setelah mengunjungi rumah Anda?"
"Mereka akan mengunjungi Pertiwi."
"Pada pukul berapa mereka meninggalkan rumah Anda?"
"Mungkin tiga atau empat sore, saya tidak begitu ingat."
"Jadi itu sebabnya Anda tahu pembunuhan dilakukan malam hari? Waktu tempuh perjalanan lumayan panjang, tak mungkin ditempuh dalam sepuluh atau dua puluh menit, apalagi satu jam, dan dari sana Anda sudah tahu apa yang terjadi, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Detektif Roy : Anomali Jeli [Selesai]
Mystery / ThrillerSebuah pembunuhan kembali terjadi di kota Bandung. Bagian gilanya, sang pembunuh menggunakan jeli sebagai alat yang ia gunakan! Dengan jejak seadanya, Roy dan Wijaya dipaksa untuk melacak keberadaan sang pembunuh. Buku 4 Serial Detektif Roy Seluruh...